“Mas... kok belum berkemas-kemas... mukhayam itu nggak berat lho. Selain menyehatkan jasad, yang lebih penting, ia bagian dari i'dad, persiapan dan latihan berjihad. Mas kebanggaan kami, si kecil kelak akan mencontoh Mas,” kata seorang akhwat sambil mengelus-elus pundak suaminya.
“Adik bantu mengemasi ya...” belum keluar jawaban dari bibir suaminya, akhwat itu telah mengeluarkan tas ransel dari lemari.
Sang suami yang tadinya ogah-ogahan mulai berdiri. Bangkit mengambil hp.
“Ustadz, saya besuk ikut berangkat mukhayam,” kata ikhwan itu, kini tanpa ragu-ragu.
“Lho, kemarin katanya kesulitan cuti?,” terdengar jawaban dari balik hp
“Kalau masalah kerja insya Allah bisa diatur, Ustadz.”
***
Begitulah inti dialog suami-istri yang sama-sama aktifis dakwah. Saya yakin, dialog yang kurang lebih sama tidak hanya terjadi di hari itu, di keluarga itu. Ada banyak dialog yang berisi penguatan, motivasi, dan peneguhan dari akhwat kepada suaminya. Mungkin dialog yang lain bukan hanya menyemangati sang suami untuk berangkat mukhayam. Dan mungkin saja dialog itu pernah terjadi di keluarga kita. (Senyum dong kalau Antum pernah mengalaminya :-)
Pada tulisan yang pertama, Mengapa Harus Menikah dengan Akhwat (1), ada banyak tanggapan baik yang setuju maupun kurang setuju. Termasuk komentar-komentar di facebook yang jumlahnya lebih banyak lagi. Sebagian tanggapan tidak setuju dengan penggunaan istilah akhwat karena konotasinya yang sempit. Sebagian menafsirkan bahwa akhwat adalah wanita shalihah, dan istilah wanita shalihah lebih tepat digunakan. Sebagian lagi berdalih bahwa tidak semua akhwat itu shalihah. Wal iyadzu billah.
Lalu apa yang saya maksudkan dengan akhwat? Wanita shalihah secara umumkah? Tidak, saya benar-benar bermaksud menggunakan istilah akhwat dalam arti yang sempit. Yakni muslimah yang tertarbiyah Islamiyah sehingga ia tidak saja menjadi wanita shalihah tetapi juga muslihah. Baik secara pribadi sekaligus terlibat dalam dakwah untuk memperbaiki orang lain. Maka akhwat yang saya maksudkan adalah mereka yang tersibghah dengan tarbiyah Islamiyah hingga mencapai muwashafat; tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah) sekaligus kepribadian dai (syakhsiyah Da'iyah).
Tentu saja yang saya maksudkan dengan “harus” itu bukan wajib dalam terminologi Hukum Taklifi bahasan Fiqih. Bukankah menikah dengan akhwat tertarbiyah itu tidak termasuk syarat atau rukun Nikah? Dan yang saya tuju untuk renungan ini adalah para ikhwan. Mengapa harus menikah dengan akhwat? Seri tulisan ini mencoba untuk saling berbagi dan -kalau boleh- merekomendasikan kepada para ikhwan agar memilih akhwat.
Alasannya? Yang pertama sudah kita bahas beberapa waktu yang lalu; kesetiaan. Akhwat yang telah tertarbiyah, ia setia kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagai buah kesetiaan kepada Allah dan Rasul-Nya ia juga sangat setia kepada suaminya. Kesetiaan yang hakiki dan terpancar kuat dalam sikap dan ucapan ini berdampak besar bagi suami. Sang suami bisa lebih tenang, lebih damai, lebih khusyu' dalam beribadah, fokus dalam bekerja, concern dalam meniti karir atau mengembangkan bisnis, dan serius dalam berdakwah.
Kedua, seperti dialog di atas, akhwat menjadi sahabat dakwah. Ia mampu menjadi motivator di saat kita lemah. Ia mampu menguatkan kembali komitmen dakwah kita di saat kita malas. Ia mampu menjadi peneguh saat kita mulai goyah.
“Untuk membangun keluarga muslim yang dilandasi taqwa,” tulis Syaikh Musthafa Masyhur dalam Fiqhud Dakwah, pertama kali seorang Muslim harus mencari pasangan yang baik keislamannya dan yang memahami tugas risalah hidupnya. Menjadikan pasangan hidupnya sebagai sahabat dakwah yang baik, yang selalu dapat mengingatkannya jika ia lupa, memberi motivasi berdakwah dan tidak menghalanginya.”
Istri itu memiliki pengaruh besar dalam kehidupan suami. Ada banyak contoh suami yang sebenarnya biasa-biasa saja, tetapi setelah sekian tahun menikah ia menjadi luar biasa karena motivasi istrinya. Bukan hanya dalam dakwah, tetapi juga dalam ibadah. Ada suami yang beberapa tahun silam tilawahnya terbata-bata, tetapi kini ia yang biasa membetulkan tilawah teman-temannya. Ia serius mengikuti tahsin karena dorongan istrinya.
Ada pula orang yang jarang qiyamullail, tiba-tiba menjadi rajin setelah menikah karena istrinya yang dengan cara “penuh cinta” membangunkannya. Ia mengingatkan kita pada sabda Rasulullah SAW:
Allah merahmati wanita yang bangun di tengah malam, ia shalat dan membangunkan suaminya. Jika suaminya enggan bangun, ia meneteskan air ke wajahnya. (HR. Abu Daud, shahih)
Sebaliknya, tidak sedikit lelaki yang terjungkal karena istrinya. Bahkan tidak terkecuali ikhwan, para aktifis dakwah. Bayangkan jika istri pada cerita di atas mengubah dialognya: “Iya Mas, lebih baik Mas di rumah saja. Ngapain juga capek-capek di hutan, di gunung. Kalau ada apa-apa bagaimana coba. Mana Mas gak punya asuransi lagi. Kalau sampai lebih dari itu? Mas rela saya jadi janda dan si kecil jadi yatim? Mas rela kalau nanti ada orang lain yang nikahi saya?” Bisa dipastikan ikhwan itu semakin “teguh pendirian” untuk tidak berangkat. Dan... banyak alasan yang bisa dipakai.
Sebagaimana mampu memotivasi mad'u dan mutarabbinya, akhwat juga memiliki kekuatan yang sama -bahkan lebih besar- untuk memotivasi suaminya. Karena itulah mengapa kita perlu -bahkan harus- menikah dengan akhwat. Bagaimana pendapat antum?
sumber disini