Penulis: Ummu Salamah As-Suluni
Termasuk bagian dari kenikmatan yang
diberikan Allah kepada hamba-Nya adalah lisan. Dengan lisan, kita dapat
mengungkapkan pikiran dan perasan kita. Terkadang kita menganggap sepele atau
bahkan melupakan perkara yang berhubungan dengan lisan, sehingga kita sering
mendengar seseorang yang mengucapkan sesuatu yang tanpa disadari bisa
menimbulkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lisan terkadang dapat mengantarkan
pemiliknya ke tingkat tertinggi apabila lisan itu digunakan untuk kebaikan atau
diarahkan kepada apa yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun lisan juga
dapat menjerumuskan pemiliknya ke tingkat yang paling rendah, yaitu apabila
lisan digunakan untuk perkara yang tidak diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seorang mukmin senantiasa
diperintahkan untuk menjaga lisannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang
artinya, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang
yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari
(perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (QS. Al-Mukminun: 1-3)
Menjaga lisan termasuk salah satu
kesempurnaan Islam seseorang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sebaik-baik (kualitas) keislaman kaum mukminin adalah orang yang
kaum muslimin merasa aman dari (kejahatan) lisan dan tangannya. Sebaik-baik
(kualitas) keimanan kaum mukminin adalah mereka yang paling baik akhlaqnya…..”
(HR. Ath-Thabrani)
Sebagai seorang mukmin, penting bagi
kita untuk mengetahui apa saja yang termasuk kejahatan lisan. Diantara
kejahatan-kejahatan lisan tersebut adalah melaknat.
Apa itu melaknat? Melaknat memiliki
dua makna, yaitu makna pertama adalah mencela dan makna kedua adalah mengusir
serta menjauhkan dari rahmat Allah. Melaknat bukanlah perangai orang beriman,
dari ‘Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencela dan bukan orang
yang suka melaknat serta bukan orang yang suka bicara jorok dan kotor.”
(HR. Al-Bukhari)
Banyak bahaya yang ditimbulkan
karena melaknat. Di antara bahaya tersebut adalah tukang laknat tidak
dimasukkan dalam golongan para syuhada dan tidak termasuk orang-orang yang
memberi syafa’at disisi Allah untuk memintakan ampun bagi seseorang, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang suka melaknat
tidak akan menjadi pemberi syafa’at dan tidak pula syuhada pada hari kiamat.”
(HR. Muslim)
Melaknat juga bukan sifat para shidiqqun,
disebutkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Tidak sepatutnya bagi seorang shidiqq menjadi
pelaknat.” (HR. Muslim)
Lalu bagaimana jika seseorang
melaknat orang lain yang tidak berhak untuk dilaknat? Jawabannya, laknat itu
akan kembali pada orang yang melaknat. Dalam suatu hadits dari Abu Darda’ radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
seorang hamba apabila melaknat sesuatu, niscaya laknatnya akan naik ke langit,
maka tertutuplah pintu-pintu langit hingga ia (laknat -ed) tak dapat masuk,
maka kembalilah ia terhujam ke bumi, akan tetapi pintu-pintu bumi pun tertutup
untuknya, maka ia berputar-putar ke kanan dan kiri, dan jika tak menemui jalan
keluar (menuju sasarannya), maka ia akan tertuju pada orang yang dilaknat jika
memang ia pantas untuk dilaknat, akan tetapi jika tidak pantas, maka ia akan
kembali kepada orang yang mengucapkan laknat tadi.” (HR. Abu Daud)
Kadang kita mendengar orang berkata,
“dasar batu sial!” atau “sial kamu!”, kata-kata ini terdengar
sangat sepele, namun ketahuilah Saudariku, bahwa kita dilarang untuk
mengucapkan atau melaknat sesuatu tanpa adanya keterangan dari agama bahwa
sesuatu tersebut mendatangkan kesialan. Selain itu, kita juga dilarang melaknat
angin, binatang, ayam jago, waktu, serta manusia tertentu, terutama seorang
mukmin karena hal tersebut termasuk dosa besar. Tsabit bin Adh-Dhahhak rahimahullahu
Ta’ala berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
melaknat seorang mukmin maka seakan-akan dia membunuhnya.” (HR. Al-Bukhari)
Lalu apakah ada laknat yang
diperbolehkan? Jawabannya ada, yaitu melaknat pelaku kemaksiatan dari kalangan
kaum muslimin tanpa menunjuk personnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan yang minta
disambungkan rambutnya. Selain itu boleh juga melaknat dengan menunjuk orang
terrtentu yang sudah mati untuk menjelaskan keadaannya pada manusia dan untuk
kemashlahatan syari’ah. Adapun jika tidak ada maslahat syari’ah maka tidak
diperbolehkan karena, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci maki orang-orang
yang telah mati, karena sesungguhnya mereka telah mendapatkan balasan dari apa
yang telah mereka perbuat dahulu.” (HR. Al-Bukhari)
Seorang mukmin hendaknya tidak
berkata kecuali yang baik. Perkataannya adalah suatu kejujuran, di samping
sebagai perbaikan di antara manusia, amar ma’ruf nahi munkar, doa, dan
ketundukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak inginkah kita termasuk
orang-orang yang disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam ini? “Barangsiapa menjamin untukku apa yang ada diantara kedua dagunya
(lisan) dan apa yang ada diantara kedua kakinya (kemaluan), maka aku akan
menjamin untuknya surga.” (HR. Al-Bukhari)
Karena itu, marilah kita memohon
kepada Allah Ta’ala agar melindungi kita dari kesalahan-kesalahan lisan kita
serta janganlah kita merasa aman terhadap tipu daya lisan, agar kita tidak
binasa dalam neraka jahim dan kerugian.
Maraji’:
- Manajemen Lisan Saat Diam Saat Bicara (Husain al-Awayisyah)
- Wahai Muslimah Dengarlah Nasehatku, edisi revisi (Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah)
- Tarjamah Riyadhus Shalihin (Imam Nawawi)
- Dosa-Dosa yang Dianggap Biasa (Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid