Komisioner Komisi Nasional (Komnas) HAM, Maneger Nasution, menyatakan
gugatan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pernikahan beda
agama bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi UUD 1945.
"Gugatan uji materil ke MK terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974, pasal 2 ayat 1 tidak sejalan dengan prinsip sila 1 dan 2 Pancasila sebagai dasar negara," tegas Maneger dalam rilisnya kepada Republika, Senin (8/9).
Gugatan uji materiil itu, lanjut Maneger, juga bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 pasal 28B sebagai konstitusi negara. Bahkan, bertentangan dengan pasal 10 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
"Jika gugatan itu dikabulkan, artinya negara sama saja tidak hadir menjamin warganya menjalankan hukum agama yang mereka anut," ujarnya.
Menurutnya, masalah perkawinan adalah domain agama. Jika pasal 2 ayat 1 itu dibatalkan, maka hukum negara bakal menabrak hukum-hukum agama.
Apalagi, lanjutnya, posisi negara hanya sebatas fungsi administrasi atau mencatat peristiwa perkawinan. Sedangkan sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum agama, bukan hukum negara.
Maneger menyatakan para pendukung pernikahan antar agama berpendapat dengan pasal 16 ayat (1) dalam Dasar Undang-Undang tentang HAM (DUHAM), yaitu:
"Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan membentuk keluarga...."
"Inilah alasan umum bagi mereka yang berpendapat boleh kawin berbeda agama dengan alasan HAM," paparnya
Di Indonesia, tidak ada pembatasan perkawinan karena etnis dan warna kulit. Tetapi tentang agama, jelas Maneger, dibatasi oleh UU.
Jadi, Pasal 16 ayat (1) DUHAM itu harus dan sudah disesuaikan dengan Pancasila, UUD 1945 dan Undang-Undang serta budaya Indonesia.
Apalagi, ungkapnya, Dasar HAM di Indonesia adalah sila 1 dan 2 Pancasila. Dalam UUD 1945 pasal 28B ayat 1, ditegaskan setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Sedangkan perkawinan yang sah, jelasnya, hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pasal 10 ayat 2, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
"Adapun pengaturan perkawinan di Indonesia itu merujuk pada UU Nomor 1 tahun 1974," jelas Maneger
*Sumber : Republika.co.id
"Gugatan uji materil ke MK terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974, pasal 2 ayat 1 tidak sejalan dengan prinsip sila 1 dan 2 Pancasila sebagai dasar negara," tegas Maneger dalam rilisnya kepada Republika, Senin (8/9).
Gugatan uji materiil itu, lanjut Maneger, juga bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 pasal 28B sebagai konstitusi negara. Bahkan, bertentangan dengan pasal 10 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
"Jika gugatan itu dikabulkan, artinya negara sama saja tidak hadir menjamin warganya menjalankan hukum agama yang mereka anut," ujarnya.
Menurutnya, masalah perkawinan adalah domain agama. Jika pasal 2 ayat 1 itu dibatalkan, maka hukum negara bakal menabrak hukum-hukum agama.
Apalagi, lanjutnya, posisi negara hanya sebatas fungsi administrasi atau mencatat peristiwa perkawinan. Sedangkan sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum agama, bukan hukum negara.
Maneger menyatakan para pendukung pernikahan antar agama berpendapat dengan pasal 16 ayat (1) dalam Dasar Undang-Undang tentang HAM (DUHAM), yaitu:
"Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan membentuk keluarga...."
"Inilah alasan umum bagi mereka yang berpendapat boleh kawin berbeda agama dengan alasan HAM," paparnya
Di Indonesia, tidak ada pembatasan perkawinan karena etnis dan warna kulit. Tetapi tentang agama, jelas Maneger, dibatasi oleh UU.
Jadi, Pasal 16 ayat (1) DUHAM itu harus dan sudah disesuaikan dengan Pancasila, UUD 1945 dan Undang-Undang serta budaya Indonesia.
Apalagi, ungkapnya, Dasar HAM di Indonesia adalah sila 1 dan 2 Pancasila. Dalam UUD 1945 pasal 28B ayat 1, ditegaskan setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Sedangkan perkawinan yang sah, jelasnya, hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pasal 10 ayat 2, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
"Adapun pengaturan perkawinan di Indonesia itu merujuk pada UU Nomor 1 tahun 1974," jelas Maneger
*Sumber : Republika.co.id