Sebuah Kenangan Atas Cinta
oleh Salim A. Fillah
Tiap pahlawan punya kisahnya sendiri.
Di perang Uhud, ketika tubuhnya memerisai Rasulullah dan
tujuh puluh luka berlomba menguras darahnya, Thalhah ibn ‘Ubaidillah
berdoa sambil menggigit bibir. “Rabbii”, begitu lirihnya, “Khudz
bidaamii hadzal yauum, hattaa tardhaa. Ya Allah, ambil darahku hari ini
sekehendakMu hingga Engkau ridha.” Tombak, pedang, dan panah yang
menyerpih tubuh dibiarkannya, dipeluknya badan sang Nabi seolah tak rela
seujung bulu pun terpapas.
“Kalau ingin melihat syahid yang masih berjalan di muka
bumi”, begitu Sang Nabi bersabda, “Lihatlah pada Thalhah”. Dan Thalhah,
yang jalannya terpincang, yang jarinya tak utuh, yang tubuhnya berlumur
luka tersenyum malu dan menitikkan air mata. Terlihatlah di pipinya
bening luh itu, mengalir di atas darah yang mengering merah.
Tetapi tiap pahlawan punya kisahnya sendiri.
Satu hari ia berbincang dengan ‘Aisyah, isteri sang Nabi,
yang masih terhitung sepupunya. Rasulullah datang, dan wajah beliau pias
tak suka. Dengan isyarat, beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam meminta
‘Aisyah masuk ke dalam bilik. Wajah Thalhah memerah. Ia undur diri
bersama gumam dalam hati, “Beliau melarangku berbincang dengan ‘Aisyah.
Tunggu saja, jika beliau telah diwafatkan Allah, takkan kubiarkan orang
lain mendahuluiku melamar ‘Aisyah.”
Satu saat dibisikannya maksud itu pada seorang kawan, “Ya, akan kunikahi ‘Aisyah jika Nabi telah wafat.”
Gumam hati dan ucapan Thalhah disambut wahyu. Allah
menurunkan firmanNya kepada Sang Nabi dalam ayat kelimapuluhtiga surat
Al Ahzab, “Dan apabila kalian meminta suatu hajat kepada isteri Nabi
itu, maka mintalah pada mereka dari balik hijab. Demikian itu lebih suci
bagi hati kalian dan hati mereka. Kalian tiada boleh menyakiti
Rasulullah dan tidak boleh menikahi isteri-isterinya sesudah wafatnya
selama-lamanya.”
Ketika ayat itu dibacakan padanya, Thalhah menangis. Ia
lalu memerdekakan budaknya, menyumbangkan kesepuluh untanya untuk jalan
Allah, dan menunaikan umrah dengan berjalan kaki sebagai taubat dari
ucapannya. Kelak, tetap dengan penuh cinta dinamainya putri kecil yang
disayanginya dengan asma ‘Aisyah. ‘Aisyah binti Thalhah. Wanita jelita
yang kelak menjadi permata zamannya dengan kecantikan, kecerdasan, dan
kecemerlangannya. Persis seperti ‘Aisyah binti Abi Bakr yang pernah
dicintai Thalhah.
Begitulah, tiap pahlawan punya kisahnya sendiri.
Sesudah wafatnya ‘Utsman ibn ‘Affan di tangan para
pemberontak, fitnah besar itu terjadilah. Thalhah bersama Zubair ibn Al
‘Awwam dan ‘Aisyah memerangi ‘Ali ibn Abi Thalib untuk menuntut bela
kematian ‘Utsman, meminta ditegakkannya keadilan atas para pembunuh
‘Utsman yang sebagiannya kini menjadi penyokong utama kekhalifahan ‘Ali
ibn Abi Thalib. Keadaan sangat tidak mudah bagi ‘Ali. Pilihan-pilihannya
terbatas. Thalhah tahu itu. Tapi dia sendiri juga kesulitan bersikap
lain di tengah kedua kubu.
Satu hari, dalam perang yang dikenal sebagai Waq’ah Jamal
itu, ‘Ali mengirim utusan, memohon agar bisa berjumpa dengan kedua
sahabat yang dicintainya; Thalhah dan Az Zubair. Mereka berdua datang.
Mereka bertiga berpelukan. Tak terasa air mata meleleh.
Kenangan-kenangan ketika ketiganya bersipadu di sisi Rasulullah
berkelebatan dengan indah. Namun kini terasa menyesakkan. Menyakitkan.
Dulu pedang mereka seayun, langkah mereka sebaris, tangannya
bergandengan. Kini mereka harus berhadapan saling menghunus pedang,
dengan mata saling menatap tajam, tapi hati tersembilu.
Dan seolah tak ada jalan selain itu.
Sesudah menyeka air mata, ‘Ali menggenggam jemari Thalhah
dan menatap dalam ke wajahnya. Dengan menghela nafas, ‘Ali mencoba
menyusun kata. “Ingatkah engkau hai Thalhah, mengapa Allah turunkan ayat
tentang hijab bagi isteri Nabi dan mengapa Dia melarang kita untuk
menikahi janda beliau?”
Thalhah terisak. Dadanya bergemuruh oleh malu dan sesal. Bahu kekarnya bergeletar.
‘Ali menepuk bahu Thalhah. “Ya”, katanya sambil mengalihkan
pandangan, tak sanggup melihat tercabiknya batin Thalhah oleh
kata-katanya. Tapi demi perdamaian dan persatuan kembali kaum Muslimin,
‘Ali mau tak mau harus mengatakan ini. Ia menguatkan hati. “Ayat itu
turun karena maksud hati dan ucapanmu untuk menikahi ‘Aisyah.”
‘Ali meraba reaksi Thalhah. Lalu Ia melanjutkan sambil
menatap tajam pada sahabatnya itu. “Dan kini sesudah beliau Shallallaahu
‘Alaihi wa Sallam benar-benar wafat, mengapa engkau justru membawa
‘Aisyah keluar dari hijabnya dan mengajaknya mengendarai unta dan
berperang di sisimu?”
Thalhah menubruk ‘Ali, memeluk dan menangis di bahunya.
Hari itu mereka sepakat berdamai dan menyudahi perang saudara. Dan di
hari itu pula, sepulang dari kemah ‘Ali, Thalhah, bersama Az Zubair
sahabatnya dibunuh oleh orang-orang yang tak menghendaki perdamaian. Dan
‘Ali ibn Abi Thalib dengan duka yang begitu dalam, sore itu, menggali
kubur untuk kedua cintanya.
Seusai pemakaman, ‘Ali menimang putra Thalhah yang masih
kecil. Kepada bocah itu dia berbisik. “Nak,’ kata ‘Ali, “Aku sungguh
berharap, aku dan ayahmu termasuk orang-orang yang difirmankan oleh
Allah di Surat Al Hijr ayat keempatpuluh tujuh; “Dan kami lenyapkan
segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa
bersaudara duduk berhadapan di atas dipan-dipan.”
sepenuh cinta,
Salim A. Fillah