Oleh Muktia Farid*
Bioskop, bagi banyak orang sering diidentikkan dengan tempat
berkumpulnya orang-orang yang maniak mencari tontonan film. Suasana
bioskop juga identik dengan remang-remang sehingga banyak digunakan
untuk pacaran, atau suasana yang ditingkahi dengan segerombolan remaja
yang asyik ketawa-ketiwi sambil ngemil dan colak-colek. Bayangan semacam
itu tak sepenuhnya salah, karena memang tumbuh dari hasil pengamatan
banyak orang. Apalagi jika yang terbayang di kepala adalah bioskop jaman
dulu, yang juga identik dengan kepulan asap rokok (karena tidak
ber-AC).
Namun, dengan anggapan tentang bioskop yang memang begitulah adanya,
Bapak Ibu saya sejak dulu justru menjadikan bioskop sebagai salah satu
sarana menambah wawasan bagi putra-putrinya, baik wawasan umum maupun
keIslaman.
Saya mengenal film The Message, Al-Kautsar, Nakalnya Anak-anak, Ira Maya
Sopha, dan lain-lain lewat acara menonton bersama yang Bapak Ibu
agendakan untuk seluruh anggota keluarga, puluhan tahun yang lalu saat
saya masih anak SD.
Juga film-film generasi berikutnya seperti Walisanga, Sunan Kalijaga,
Tjut Nyak Dien dan lain-lain, itu saya tonton karena diajak Bapak Ibu.
Padahal, saya juga tahu Bapak Ibu bukan termasuk orangtua yang berlebih
dari sisi keuangan, malah cenderung prihatin untuk memenuhi kebutuhan.
Namun untuk mengajak anak-anaknya nonton di bioskop, sebisa mungkin
bapak ibu mengajak kami menonton di kelas satu, dereten belakang.
Semata-mata demi kenyamanan. Upaya penghematan tetap terasa dengan
dimintanya kami untuk membawa bekal jajanan, tidak membeli di toko
sekitar bioskop, dan sengaja jalan kaki rame-rame dari rumah sekitar 500
meter menuju ke gedung bioskop. Kendaraan yang bapak punya hanya motor,
satu saja, sedang anaknya ada 6. Jadi agak merepotkan jika harus
mengandalkan kendaraan.
Sayangnya, film-film bagus tak selamanya meraja. Lalu masa kejayaan
film-film layar lebar perlahan memudar. Film-film bioskop didominasi
film horor yang membuat jantung berdebar. Bioskop di berbagai kota pun
banyak yang gulung tikar. Dulu yang rutin tiap tahun ada FFI, lama-lama
menghilang. Hiburan beralih ke sinetron, yang dulu juga sempat mengalami
masa kejayaan dengan dipilihnya sinetron-sinetron bermutu di FSI. Tapi
itu pun tak lama.
Beberapa tahun belakangan, film layar lebar mulai menggeliat dengan
banyak dibangunnya bioskop jaringan 21 atau XXI di berbagai kota.
Bergairah lagi industri perfilman, dengan berbagai orientasi dan tujuan.
Geliat ini juga disambut oleh para penyeru kebaikan, yang mencoba
mengangkat novel-novel Islami yang bagus menjadi film layar lebar. Lalu
tercatatlah Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan seterusnya,
hingga film Assalamualaikum Beijing yang saat ini sedang tayang.
Sambutan khalayak luas cukup bagus, meski jumlah penonton belum bisa
menyaingi fiml best seller.
Namun, meski sudah banyak film-film yang sangat layak tonton semacam
ini, masih banyak orang yang tetap enggan untuk menonton di bioskop. Ada
beberapa alasan yang sering diungkapkan.
- Beberapa orang memilih menunggu versi DVD-nya, karena tak nyaman
dengan suasana bioskop. Padahal kita perlu tahu bahwa jumlah penonton
itu akan menentukan apakah film tersebut akan diputar lebih lama atau
cukup tiga hari saja. Pemilik jaringan cineplex tentu juga nggak mau
rugi memasang berlama-lama film yang nggak laku ditonton. Jika sudah
begini, maka akan timbul efek jera. Tiap ada film bagus, kok yang nonton
seuprit. Akhirnya produser pun males bikin film bagus, karena hampir
selalu jadi proyek rugi. Nah, jika sudah begini, ya siap-siap aja lagi
film kita akan dikuasai film horor dan mistik nggak jelas; dari misteri
malam jumat kliwon, suster ngesot, sampai arwah bangkit dari kubur. Dari
Nyi Loro Kidul penguasa laut selatan sampai penunggu gunung kawi.
Sejarah berulang. Semoga tidak, ya.
Ohya, untuk saat ini sebetulnya perjuangan menembus box office cukup di
angka 500.000 ribu penonton, dan alangkah indahnya kalau film-film
dakwah bisa tembus angka ini di bioskop-bioskop ternama. Caranya, ya
dengan datang nonton ke bioskop, jangan nunggu versi DVD atau resensinya
doang. Jika kita merasa jengah dengan suasana bioskop yang campur baur
seperti itu, mungkin ini justru celah kita utuk berdakwah lebih banyak.
Nonton jangan sendirian atau dengan keluarga saja, tapi bisa sekaligus
ajak keluarga besar atau tetangga kiri kanan. Jika keuangan mepet, ya
paling tidak menyediakan tumpangan. Kalau perlu, rombongan ibu-ibu
masjlis taklim diajak semua, biayanya bisa patungan atau subsidi silang.
Ibu-ibu yang mampu bisa membayarkan ibu-ibu yang kurang mampu. Nah,
kapasitas seat di bioskop cineplex yang tidak terlalu banyak itu
akhirnya akan didominasi oleh rombongan kita, jadi suasananya tentu
lebih kondusif. Yang mau pacaran mikir-mikir, yang mau cental-centil
juga tahu diri.
Langkah selanjutnya, kesan tentang nonton film rame-rame ini kan bisa
diangkat jadi tema pancingan untuk kajian ibu-ibu majlis taklim pekan
berikutnya. Dijamin bakalan seru dah untuk dibahas! Tentu dengan
mengaitkan pada dalil-dalil yang sesuai. Gimana, ustadzah? :)
- Alasan dari beberapa orang yang lain, merasa film tersebut belum
ideal, dilihat dari sisi pemerannya dalam kehidupan kesehariannya. Meski
di film tampak Islami, di keseharian jangankan soal komitmen berjilbab,
kadang malah merokok pun masih menjadi kebiasaan seorang aktris
perempuan.
Terhadap alasan tersebut, saya sering berpikir: Apakah harus, seorang
pemain film memiliki karakter yang selaras dengan lakon yang
diperankannya? Memang sih, kita akan merasa lebih nyaman saat tahu bahwa
pemeran film tersebut juga menjalankan syariat Islam dalam
kesehariannya, antara lain dengan jilbab (bagi yang muslimah). Tetapi,
pada film-film nasional yang mengangkat tema dakwah, selayaknya kita
juga bersikap adil.
Masih ingat film Omar yang begitu disanjung-sanjung kalangan kader
dakwah sebagai film (serial televisi) yang sangat baik dan memberikan
suasana ruhy tersendiri? Lalu siapa pemeran Umar Bin Khattab di film
itu? Dia Samer Ismail, aktor muda dari Suriah, yang kesehariannya jelas
tak berperilaku seperti Umar bn Khattab.
Lalu, apa terus kita memilih untuk tidak menonton film The Message dan film Omar? Nyatanya tidak.
Jadi, mari kita berbuat adil. Justru malah bisa jadi dengan dilibatkannya aktris-aktor yang belum menerapkan syariat seperti yang diharapkan itu, keterlibatannya di film tersebut menjadi pintu hidayah bagi mereka untuk mengenal Islam lebih jauh. Siapa tahu dengan membaca skenario, menghayati perannya, berinteraksi dengan penulis novelnya, dll, lalu akan dia temukan Islam yang indah. Who knows?
Di sisi lain, ini juga menjadi PR bagi para penggiat dakwah untuk lebih banyak orang lagi yang menekuni seni peran dan sinematografi sehingga kebutuhan pemeran, kameraman dll juga nanti dapat dipenuhi dari lingkungan internal, sebisa mungkin. Itu langkah selanjutnya, setelah kita memiliki bekal ilmu yang cukup. Tentu tidak bisa radikal dengan memasang nama ustadz/ustadzah ternama jadi pemain film, menggantikan aktris-aktor profesional. Memangnya terus siapa saja nanti yang mau nonton? Mau bikin pengajian atau bikin film?
Sudah, gitu aja. Saya nggak berani bahas soal nonton bioskop ini dari sisi fiqh, karena memang nggak punya ilmunya. Ini cuma uneg-uneg seorang ibu rumah tangga biasa. Semoga berguna :)
*sumber: http://muktiberbagi.wordpress.com/2015/01/05/nonton-di-bioskop-islami-nggak-sih/