Dzulqarnain adalah seorang yang soleh. Allah menganugerahkan kepadanya kekuasaan duniawi yang amat luas. Allah abadikan kisahnya di dalam Al-Qur'an (QS. 18 : 83-101), tentunya agar kita dapat mengambil pelajaran baik darinya.
Rahasia apa gerangan hingga ia dapat mengelola kekuasaannya yang begitu luas dengan keberhasilan, bahkan kemuliaan dari Allah?
Paling tidak ada dua prinsip kepemimpinannya yang dapat kita ambil pelajaran. Hal tersebut terungkap jelas ketika Allah mengujinya dengan firman-Nya : "…..Hai Dzulqarnain, kamu boleh menyiksa atau berbuat kebaikan kepada mereka" (QS. 18 : 86).
Ia tak mengartikan firman itu sebagai penghalalan arogansi kekuasaan dengan polesan kebaikan sekehendak hatinya. Amanat Allah tersebut disambutnya dengan kebijakan negarawan yang mantap dan tolok ukur yang jelas. "Berkata Dzulqarnain, adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengazabnya (menghukumnya), kemudian ia dikembalikan keada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tiada tara. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal soleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan padanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami." (QS. 18 : 87-88).
Saripati kebijakannya itu tak lain adalah keberanian moral, pengakan ketentraman dan keadilan tanpa pilih kasih. Selain itu ia memuliakan kaum yang memang memperoleh kemuliaan, tidak terbalik-balik penuh kerancuan.
Realisasi dua komitmen di atas, bagi Dzulqarnain, bukan saja penting dalam timbangan kemanusiaan dan hubungan dan hubungan sosial yang sehat. Lebih dari itu, komitmen tadi utamanya adalah realisasi kehambaannya (walaupun berkuasa) terhadap titah Yang Maha Berkuasa.
Hanya pada titik itulah ia dan siapa saja, laik menyandang posisi kholifatullah fil ardh (wakil Allah di muka bumi) dengan peran ri'ayah (pemelihara) dan sekaligus imaroh (pembangun). Dengan landasan pilarnya, penjiwaan total akan kehambaan diri (abdullah).
Pada pertemuan dua garis (horizontal sebagai khalifahtullah dan vertikal sebagai abdullah) Dzulqarnain berada. Maka sebuah keniscyaan keharuman dan kejayaan terjadi, seebagai kehendak Allah itu sendiri : "Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali Allah (hablum minallah) dan tali sesame manusia (hablum minan naas)" (QS. Ali Imran : 112).
Marai kita berkaca diri, memang setiap umat/bangsa dapat membuat dalih tentang terperosoknya mereka pada lubang kesalahan yang sama : ternistanya keadilan, mulianya keangkuhan. Tetapi sesungguhnya bukan dalih yang diperlukan untuk keluar dari persoalan. Melainkan kejelasan akar masalah dan pengenalan terhadap hukum kejayaan dan kegagalan yang pasti, lalu secara konsisten, bertahap dan kontinu berupaya meraihnya.
Rahasia apa gerangan hingga ia dapat mengelola kekuasaannya yang begitu luas dengan keberhasilan, bahkan kemuliaan dari Allah?
Paling tidak ada dua prinsip kepemimpinannya yang dapat kita ambil pelajaran. Hal tersebut terungkap jelas ketika Allah mengujinya dengan firman-Nya : "…..Hai Dzulqarnain, kamu boleh menyiksa atau berbuat kebaikan kepada mereka" (QS. 18 : 86).
Ia tak mengartikan firman itu sebagai penghalalan arogansi kekuasaan dengan polesan kebaikan sekehendak hatinya. Amanat Allah tersebut disambutnya dengan kebijakan negarawan yang mantap dan tolok ukur yang jelas. "Berkata Dzulqarnain, adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengazabnya (menghukumnya), kemudian ia dikembalikan keada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tiada tara. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal soleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan padanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami." (QS. 18 : 87-88).
Saripati kebijakannya itu tak lain adalah keberanian moral, pengakan ketentraman dan keadilan tanpa pilih kasih. Selain itu ia memuliakan kaum yang memang memperoleh kemuliaan, tidak terbalik-balik penuh kerancuan.
Realisasi dua komitmen di atas, bagi Dzulqarnain, bukan saja penting dalam timbangan kemanusiaan dan hubungan dan hubungan sosial yang sehat. Lebih dari itu, komitmen tadi utamanya adalah realisasi kehambaannya (walaupun berkuasa) terhadap titah Yang Maha Berkuasa.
Hanya pada titik itulah ia dan siapa saja, laik menyandang posisi kholifatullah fil ardh (wakil Allah di muka bumi) dengan peran ri'ayah (pemelihara) dan sekaligus imaroh (pembangun). Dengan landasan pilarnya, penjiwaan total akan kehambaan diri (abdullah).
Pada pertemuan dua garis (horizontal sebagai khalifahtullah dan vertikal sebagai abdullah) Dzulqarnain berada. Maka sebuah keniscyaan keharuman dan kejayaan terjadi, seebagai kehendak Allah itu sendiri : "Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali Allah (hablum minallah) dan tali sesame manusia (hablum minan naas)" (QS. Ali Imran : 112).
Marai kita berkaca diri, memang setiap umat/bangsa dapat membuat dalih tentang terperosoknya mereka pada lubang kesalahan yang sama : ternistanya keadilan, mulianya keangkuhan. Tetapi sesungguhnya bukan dalih yang diperlukan untuk keluar dari persoalan. Melainkan kejelasan akar masalah dan pengenalan terhadap hukum kejayaan dan kegagalan yang pasti, lalu secara konsisten, bertahap dan kontinu berupaya meraihnya.