Adab Generasi Salaf Kepada Para Ulama

08:28

Sungguh luar biasa adab yang dicontohkan oleh generasi salaf terhadap para ulama di antara mereka, meski berbeda mazhab dan berlainan pendapat dalam banyak masalah. Nyaris sudah tidak kita temukan lagi di masa sekarang ini, meski pun banyak yang mengaku-ngaku sebagai orang salaf.

Lihatlah apa yang dilakukan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal kepada gurunya, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumallah. Meski Al-Imam Ahmad bin Hanbal akhirnya bisa menjadi mujtahid mutlak dan mendirikan mazhab fiqih tersendiri yang terpisah dari mazhab gurunya, namun sikap beliau kepada gurunya tidak pernah berubah sedikit pun. Malah beliau semakin tambah hormat dan ta’dzhim kepada sang guru.

Al-Imam Ahmad bin Hanbal punya anak namanya Abdullah. Suatu hari Abdullah ini bertanya kepada Ayahya,”Siapa sih Asy-Syafi’i itu wahai Ayah? Ananda tiap hari mendengar Ayahanda selalu berdoa untuknya?”. Al-Imam Ahmad menjawab,”Anakku, Al-Imam Asy-Syafi’i itu ibarat matahari bagi dunia ini dan ibarat kesehatan bagi manusia. Adakah yang orang yang sanggup hidup tanpa matahari dan tanpa kesehatan atau adakah yang bisa menggantikan keduanya?”

Adakah hari ini orang yang mengaku ulama tetapi tiap hari mendoakan ulama lain, padahal mereka berbeda pendapat dalam banyak hal?

Alih-alih mendoakan, yang kita lihat malah menghujat, memaki, mencemooh dan menuduh sesat, dan seterusnya. Dimana kita dibandingkan dengan generasi salaf dulu?

Anak Al-Imam Ahmad yang lain bernama Shalih. Dia bercerita bahwa pada suatu hari bertemu dengan Yahya bin Muin dan mempertanyakan, “Tidakkah Ayahmu itu malu atas yang dilakukannya?” Aku bertanya,”Memangnya Ayahku mengerjakan apa?”. Yahya bin Muin berkata,”Aku melihat ayahmu berjalan bersama Al-Imam Asy-Syafi’i yang menungggang unta tapi Ayahmu berjalan kaki sambil memegang tali kekang untanya”. Shalih pun menyampaikan hal itu kepada Ayahnya (Al-Imam Ahmad). Dan Ayahnya menjawab,”Kalau kamu bertemu lagi dengan Yahya, katakan kepadanya,”Bila kamu ingin menjadi seorang faqih, datanglah kemari dan berjalanlah bersama kita dan pegang tali kekang dari sisi yang lain”.

Buat orang Arab, menuntun unta yang ditunggangi orang lain adalah salah satu bentuk penghormatan yang tinggi kepada orang tersebut. Kalau di masa sekarang, kira-kira posisinya jadi sopir, ajudan atau pembantu pribadi. Itulah yang dilakukan Al-Imam Ahmad bin Hanbal kepada gurunya, Al-Imam Asy-Syafi’i.

Mari kita renungkan, ada dimana posisi kita sekarang ini dibandingkan akhlaq para ulama di zaman salaf dahulu?

Suatu hari ada orang mendatangi Al-Imam Ahmad dan menyampaikan pandangannya,”Wahai Abu Abdillah, hadits dalam masalah itu tidak shahih”. Al-Imam Ahmad menjawab,”Kalau pun hadits itu tidak shahih, namun hal itu merupakan pendapat Al-Imam Asy-syafi’i. Beliau adalah orang yang paling kuat (tsabit) pendapatnya”.

Meski pun seorang muhaddits, namun Al-Imam Ahmad juga ahli fiqih. Beliau tidak main jatuhkan vonis bid’ah dan sesat begitu saja atas suatu masalah yang dianggap haditsnya tidak shahih. Sebab beliau sadar, di atas beliau masih ada orang yang jauh lebih tinggi ilmunya dan juga seorang muhaddits handal, yaitu Al-Imam Asy-Syafi’i. Dimanakah kedudukan orang itu dalam masalah hadits dibandingkan dengan Al-Imam Asy-Syafi’i?

Al-Imam Ahmad pernah berkata: “Bila aku ditanya sesuatu hal yang aku tidak tahu khabar atas jawabannya, maka Aku berkata, ‘Al-Imam Asy-Syafi’i berkata begini dan begini’. Karena sesungguhnya beliau adalah imam yang alim asli dari keturunan Quraisy.”

Apa yang dilakukan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal itu mungkin dianggap oleh sebagian kalangan keterlaluan. Atau mugkin tidak sedikit yang berpikir, ah mana mungkin seorang muhaddits dan juga mujtahid besar selevel Al-Imam Ahmad bisa bersikap ‘bodoh, dan ‘bertaqlid’ buta seperti itu?

Kalau kita pun bersikap yang kurang lebih sama, maka ada baiknya kita baca lagi kisah-kisah teladan para ulama salafus-shalih, dari sumber yang muktamad. Kita akan terheran-heran, betapa mereka amat tawadhu’, rendah hati, dan berkepribadian yang luhur, khususnya kepada para ulama.

Kalau mau yang sudah terkumpul dengan mudah dan enak dibaca, silahkan buka kitab Adab Ikhtilaf fil-Islam karya Taha Jabir Al-Alawani.***

Artikel Terkait

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Penulisan markup di komentar
  • Untuk menulis huruf bold gunakan <strong></strong> atau <b></b>.
  • Untuk menulis huruf italic gunakan <em></em> atau <i></i>.
  • Untuk menulis huruf underline gunakan <u></u>.
  • Untuk menulis huruf strikethrought gunakan <strike></strike>.
  • Untuk menulis kode HTML gunakan <code></code> atau <pre></pre> atau <pre><code></code></pre>, dan silakan parse kode pada kotak parser di bawah ini.

Disqus
Tambahkan komentar Anda

No comments

Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan