Oleh Gede H. Cahyana
Guru mengajar, bukanlah berita. Guru menulis, itu baru berita! Guru
rajin mengajar dan terus mengajar tidaklah aneh. Guru yang membaca dan
terus membaca, apalagi berganti dari satu buku ke buku lainnya, ini yang
agak aneh. Sebab, banyak guru hanya membaca satu-dua buku. Itu pun
buku-buku yang menjadi bahan ajarnya. Jarang ia membaca buku selain buku
yang menjadi bahan ajarnya.
Betulkah guru malas membaca? Jika dijawab betul dan menganggap semuanya
malas membaca pastilah keliru. Tak bisa semuanya disamakan seperti itu.
Ada guru yang betul-betul gemar membaca. Dia membaca semua buku, tak
hanya yang menjadi bahan ajarnya. Malah rutin membaca koran, sesekali
membeli majalah. Buku yang dibacanya pun tak hanya buku baru yang
relatif mahal harganya, tapi juga membaca buku second yang dibelinya di
pasar buku murah. Namun, jarang memang guru yang seperti ini. Jarang
sekali.
Guru pesuka buku, terlebih lagi kutu buku, atau pelahap buku, jumlahnya
sedikit. Berapa pastinya sulit diketahui karena subjektif. Kelompok
pesuka buku ini secara ekonomi mau menyisihkan uang gajinya untuk
memuaskan dahaga akalnya. Gajinya tak berbeda dengan guru-guru lainnya
yang malas membaca. Bedanya, dia rela memotong gajinya untuk makanan
ruhaninya. Selain itu, dia juga berupaya mendapatkan uang halal dari
sumber-sumber lain, tak hanya mengandalkan gajinya. Bisa lewat warung
kelontong, membuat wartel, atau berkirim artikel ke media massa. Guru
yang demikian pantaslah menjadi motor masyarakat-baca, minimal di
hadapan murid-muridnya.
Guru menulis?
Jika membaca saja malas, mungkinkah seorang guru mampu menulis? Mampukah
menghasilkan tulisan, minimal artikel yang terkait dengan bidang
ilmunya? Yang lebih tinggi lagi, menghasilkan buku yang bisa menambah
wawasan-baca publiknya, khususnya murid-muridnya. Mari diam-diam
dideteksi apakah guru kita mampu menulis artikel di koran, majalah,
tabloid kelas rendah, kelas sedang sampai kelas atas. Setiap sekolah
bisa memantau apakah ada gurunya yang menulis artikel di media massa.
Adakah yang sudah menulis buku umum atau buku pelajaran di vak yang
ditekuninya bertahun-tahun? Berapa orang yang demikian?
Guru yang menulis itu perlu dihargai lewat hadiah, apapun ujudnya, yang
penting bernilai tinggi secara intelektual dan finansial. Pemerintah,
baik pemerintah daerah (Dinas Pendidikan) maupun pemerintah pusat
hendaklah menganugerahkan nilai tinggi untuk setiap artikel yang
ditulisnya. Apalagi kalau ditulis di koran beroplah banyak dan
berkualitas tinggi. Masyarakat sudah tahu mana saja koran yang sangat
selektif dalam menerbitkan artikel. Menghargai karya ilmiah atau ilmiah
populer dengan nilai tinggi berarti meninggikan posisi menulis di atas
membaca yang lantas diharapkan mampu membiasakan guru bersaing antarguru
lewat menulis. Juga mampu mengangkat namanya di antara koleganya
sekaligus mengantarkan nama sekolahnya ke seluruh penjuru daerah.
Begitu pun yang layak menjadi kepala sekolah, apalagi memegang jabatan
di Dinas Pendidikan, haruslah yang prestatif dalam dunia tulis-menulis.
Pertimbangkanlah kuantitasnya dan bagaimana kualitas karya tulisnya.
Lebih bagus lagi kalau mampu menghasilkan buku yang diakui Ditjen
Dikdasmen, mengusung Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bukan sekadar
menulis LKS yang jika ditilik hanya berkutat dan berputar-putar dari itu
ke itu saja. Murid menjadi malas menjelajahi dunia ilmu, tak
bereksplorasi dan terus bergelut dengan hafalan di LKS. Nilai raportnya
identik dengan LKS. Bahkan murid hanya menghafal jawabnya saja, tanpa
perlu membaca soalnya. Hafal di luar kepala! Ini betul-betul terjadi,
bukan isapan jempol. Inilah salah satu fenomena remaja kita akibat dunia
sekolah yang tak bergairah, tak kompetitif dalam keilmuan.
Muridnya penulis
Lain ladang lain belalangnya, lain lubuk lain ikannya. Begitu pun, lain
guru lain muridnya. Ketika guru malas membaca, tak mampu menulis,
muridnya justru ada yang rajin menulis. Tidakkah ini luar biasa? Sering
saya lihat murid-murid menulis di koran dan majalah. Tulisannya
profesional, enak dibaca, mengalir lancar. Isinya tak kalah hebat,
begitu mendalam, sampai masuk ke wilayah transenden sehingga menjadi
cermin diri bagi pembacanya, menyulut semangat hidupnya.
Bertanya-tanyalah saya, bagaimana gurunya, menuliskah mereka?
Saya juga kagum menyaksikan anak-anak SD yang mampu menulis novel. Bukan
satu novel yang ditulisnya, melainkan sudah nyaris sama dengan jumlah
jari tangannya. Sebaliknya gurunya tak menulis satu pun artikel pendek
di koran, apatah lagi buku ratusan halaman. Tidakkah ini menggembirakan?
Atau menyedihkan jika dilihat dari sudut pandang gurunya? Bayangkan,
seorang guru yang ingin naik pangkat dan harus menulis karya ilmiah tapi
karya tulisnya itu dibuat oleh orang lain. Bayarannya bervariasi,
bergantung pada negosiasi. Juga terjadi, seorang guru (juga dosen)
membayar sejumlah uang agar karya tulisnya dimuat di jurnal
(jurnal-jurnalan). Yang juga nakal, ada guru (juga dosen) yang
membayarkan sejumlah uang agar tulisannya dimuat di media massa.
Kembali ke soal murid menulis. Perlu terus "dipanas-panasi" agar murid
mau terus menulis. Apabila sekarang sudah mampu menulis bagus, sekian
tahun kemudian, jika mereka menjadi guru niscaya pengalamannya akan
dibagikan kepada murid-muridnya. Merekalah yang lebih cocok menjadi
pengganti guru-guru yang tak jua mampu menulis. Itu sebabnya, dalam
rekrutmen guru selayaknya kemampuan menulis menjadi materi ujian utama.
Prestasi adalah tolok-ukurnya. Ini penting agar guru jangan hanya
tenggelam dalam rutinitas: datang, absen, mengajar, istirahat, mengajar
lagi, lalu ngobrol dan pulang. Yang begini tak bakal mampu mentradisikan
budaya baca-tulis di sekolah, apalagi di masyarakat. Lebih parah lagi
adalah oknum guru dan kepala sekolah, termasuk pejabat di Dinas
Pendidikan yang hanya melihat uang. Buku adalah uang. Buku adalah tender
projek sehingga kasak-kusuk dengan penerbit pun sudah mendarah daging.
Kalau mengajar adalah tugas mulia, maka menulis pasti jauh lebih mulia.
Menulis adalah menyebarkan ilmu. Lewat tulisan, guru mengajar orang yang
membaca tulisannya dan "abadi" sepanjang masa selama tulisan itu tak
dimusnahkan. Ia pun tak hanya mengajar murid di kelasnya, tapi juga
semua pembacanya. Tulisan, baik artikel maupun buku, adalah warisan guru
yang paling berharga. Berlombalah dalam menulis, wahai guru... agar
kecakapan dan keilmuan yang dimiliki dapat digugu dan ditiru para murid
sehingga mereka ikut-ikutan rajin membaca dan mencoba menulis. Sekali
lagi, menulis dan menulislah! *
Gede H. Cahyana, penulis buku "Mencari Allah. Dari Kuta Bali Ke Salman ITB" dan "PDAM Bangkrut? Awas Perang Air".
Trims buat kru Aksara Salman ITB yang telah membedah buku Mencari Allah pada Kamis, 16 Februari 2006 kemarin.
Milis Eramuslim
Dikirim oleh: Gede H. Cahyana
Kamis, 16 Februari 2006
Your Ads Here
Artikel Terkait
Next Article
« Prev Post
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Next Post »
Penulisan markup di komentar
- Untuk menulis huruf bold gunakan
<strong></strong>
atau<b></b>
. - Untuk menulis huruf italic gunakan
<em></em>
atau<i></i>
. - Untuk menulis huruf underline gunakan
<u></u>
. - Untuk menulis huruf strikethrought gunakan
<strike></strike>
. - Untuk menulis kode HTML gunakan
<code></code>
atau<pre></pre>
atau<pre><code></code></pre>
, dan silakan parse kode pada kotak parser di bawah ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)