Oleh: Khairil Miswar
MESKI kemunculannya
hampir selama tiga abad (sejak abad 18), namun isu Wahabi masih saja
“laris manis” dan selalu menjadi topik hangat dalam perbincangan kaum
muslimin di seluruh dunia.
Tidak seperti isu-isu lain yang hilang
ditelan zaman, tapi isu tentang Wahabi (Wahabisme/Wahabiyah) terus
menggelinding mengikut alur masa.
Nampaknya, sebelum dunia ini kiamat, topik
tentang Wahabi tidak akan pernah mati dan bahkan akan terus menyita
perhatian kaum muslimin dari dua kutub yang saling bertentangan.
Di satu pihak, Wahabiyah dianggap sebagai
gerakan pemurnian agama paling sukses di panggung sejarah – yang di
beberapa wilayah telah berhasil mengembalikan ajaran Islam ke dalam
bentuk aslinya. Namun di pihak lain, gerakan Wahabi justru dianggap
sebagai petaka yang telah merusak tradisi nenek moyang. Dalam
perkembangan selanjutnya, ramai pula pihak-pihak yang menghubungkaitan
Wahabi dengan ektrimisme dan terorisme. Terlepas di kutub mana kita
berdiri, tapi yang jelas isu Wahabi telah membuat kita saling bertegang
urat saraf sesama kaum muslimin. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam telah memperingatkan kita bahwa kaum muslimin itu bagaikan
tubuh yang satu, di mana ketika satu bagian tubuh merasa sakit, bagian
lain juga ikut merasakan kesakitan itu. Namun yang terjadi hari ini,
jauh panggang dari api, tanpa sengaja kita telah terjebak dalam skenario
devide et impera yang dilancarkan oleh kaum kafirin.
Dalam beberapa literatur, di antaranya
sebagaimana disebut oleh Ruray, bahwa stigma Wahabi adalah istilah yang
digunakan oleh penjajah Inggris untuk menamakan ‘Gerakan Mujahidin’ di
Deoband India.
Oleh sebagian pihak, Wahabi sering
dicitrakan sebagai penentang adat istiadat sehingga istilah Wahabi
menjadi momok yang menakutkan. Bahkan, tragisnya lagi, oleh sebagian
kalangan, Wahabi telah dianggap sebagai golongan di luar Ahlus Sunnah
Waljama’ah. Padahal jika ditelisik secara objektif, Wahabi juga bagian
dari Ahlus Sunnah Waljama’ah, sama halnya dengan Asy’ariyah dan
Maturidiyah, meskipun terdapat perbedaan yang ketat di beberapa sisi.
Dalam hal teologi, banyak terdapat persamaan antara Wahabi (tepatnya
baca Salafy) dengan pendapat-pendapat Imam Abu Hasan Al-Asy’ari.
Demikian pula dalam bidang fiqh, umumnya Wahabi lebih dekat kepada
Mazhab Hanbali, cuma saja, mereka tidak mengikatkan diri dengan
mazhab-mazhab yang ada. Tapi, jika dicermati, pendapat-pendapat Salafiy
“tidak pernah keluar” dari pusaran empat “Mazhab Mu’tabar”. Wallahu
A’lam.
Aceh dan Wahabi
Aceh yang terletak di ujung Barat
Indonesia sebenarnya juga telah “akrab” dengan dengan Wahabi. Pada
masa-masa pergerakan kemerdekaan, di Aceh telah berdiri Persatuan Ulama
Seluruh Aceh (PUSA) yang diketuai oleh Teungku Muhammad Daud Beureu-eh.
Secara idiologis, jika teliti dengan
cermat, pemikiran keagamaan PUSA memiliki banyak kesamaan (untuk tidak
menyebut identik) dengan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi Arabiya pada abad ke 18.
Bahkan, berdasarkan riset yang pernah
dilakukan oleh Djami’ah IAIN Ar-Raniry sekira tahun 70-an, disebutkan
bahwa Tgk. Hasballah Indrapuri, seorang ulama di Aceh Besar menggunakan
Kitab Tauhid karangan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam mengajarkan
tauhid kepada umat.
Bahkan, di Aceh banyak ulama-ulama,
khususnya di masa lampau yang pemikiran keagamaannya “serumpun” dengan
pemikiran Salafiy, sebut saja Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddiqie yang buku-bukunya masih dibaca sampai sekarang.
Uniknya lagi, ramai tokoh-tokoh Aceh di
masa pergerakan kemerdekaan yang konsep keagamaannya serupa dengan
Wahabi (Salafiy). Dan bahkan organisasi PUSA yang merupakan organisasi
besar di Aceh kala itu, mayoritas anggotanya adalah “Wahabi”.
Terlepas dari berbagai kekurangan (namanya
manusia), diakui atau pun tidak, khususnya di Aceh, Wahabi memiliki
kontribusi besar dalam memajukan pendidikan di Aceh, khususnya
pendidikan modern.
Didirikannya Al-Muslim di Aceh, tepatnya di Kota
Matangglumpangdua, yang pada perkembangan selanjutnya telah melahirkan
sekolah-sekolah modern, sekolah tinggi dan universitas, merupakan bukti
paling otentik bahwa Wahabi punya “pengaruh besar” kala itu.
Pengaruh Wahabi baru “meredup” di Aceh
pada era 90-an, di mana – seiring dengan populernya Gerakan Aceh
Merdeka, “hegemoni” gerakan tradisional semakin kuat di Aceh.
Demikianlah guliran sejarah yang tak bisa
dihalau. Timbul-tenggelamnya suatu gerakan pemikiran dalam pentas
sejarah adalah lumrah saja. Tapi, narasi di atas setidaknya bisa
mengingatkan kita bahwa Wahabi bukanlah istilah baru di Aceh.
Suka tidak suka, senang tidak senang,
Wahabi telah mengukir prestasi gemilang di masa lalu, khususnya di
awal-awal kemerdekaan. Beberapa tokoh besar di Indonesia, semisal HOS
Cokroaminoto, Muhammad Natsir, Ahmad Dahlan, Hamka dan sederetan
nama-nama besar lainnya, tentunya tidak bisa dipisahkan dari pengaruh
Wahabi (meskipun tidak selamanya identik).
Demikian pula di Aceh, terkenal nama di
antaranya, Teungku Daud Beureu-eh, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap,
Teungku Hasballah Indrapuri, Ayah Hamid Namploh, Ali Hasyimi, Husen
Al-Mujahid, M. Nur El-Ibrahimy dan sejumlah nama lainnya yang tidak
mungkin semuanya disenaraikan dalam tulisan ini, adalah tokoh-tokoh yang
(dalam banyak hal) tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Wahabi.*(bersambung).. “Wahabi kok Baca Qunut?”
Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana
UIN Ar-Raniry, Konsentrasi Pemikiran dalam Islam, dan juga mantan
santri di Dayah Darussa’dah
*sumber : http://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2015/03/25/67329/aceh-dan-wahabi-sebuah-wacana-menarik-1.html#.VRJhx45p77k