Oleh: Khairil Miswar
Sambungan artikel PERTAMA
Wahabi Baca Qunut?
Beberapa waktu lalu (Jumat, 27/02/15),
seorang yang mengaku santri menulis sebuah surat terbuka di Serambi
Indonesia dengan tajuk “Surat Terbuka kepada Kapolda Aceh”. Surat
tersebut ditulis oleh Muhammad Iqbal Jalil. Dalam surat tersebut,
Muhammad Iqbal Jalil menyatakan keberatannya kepada Kapolda Aceh,
Husein Hamidi, yang kononnya akan mendatangkan seorang penceramah dari
Arab Saudi, Syeikh Adil Al-Kalbani.
Yang menjadi alasan utama penolakan santri
tersebut adalah disebabkan Syeikh Adil Al-Kabani adalah seorang Wahabi.
Santri tersebut berdalih bahwa mayoritas masyarakat Aceh menganut
Mazhab Syafi’i dalam bidang fiqih dan Ahlus Sunnah Waljama’ah dalam
bidang teologi. Menurut santri tersebut, Syeikh Adil Al-Kalbani adalah
sosok yang kontroversial sehingga bisa mengundang penolakan dari
sejumlah masyarakat. Sang santri juga menyarankan kepada Kapolda untuk
mengundang para Masyaikh Al-Azhar di Mesir yang menurutnya memiliki
kesamaan idiologi dengan mayoritas masyarakat Aceh.
Namun apa yang terjadi? Orang-orang yang
selama ini menaruh “syak wasangka” tak berdasar, apalagi kepada seorang
ulama. Berbagai tudingan emosional yang dituduhkan kepada Syeikh Adel
Al-Kalbani oleh santri Muhammad Iqbal Jalil tidak terbukti adanya.
Sebelumnya, dalam suratnya, Muhammad Iqbal
Jalil menyebut bahwa Syeikh Adel Al-Kalbani adalah seorang Wahabi yang
idiologinya berseberangan dengan keyakinan umum masyarakat Aceh.
Demikian pula dengan mazhab fiqih yang dianut oleh Al-Kalbani juga
dianggap bertolak belakang dengan mazhab Syafi’iyah yang dianut oleh
sebagian besar masyarakat Aceh.
Namun apa lacur? Syeikh Al-Kalbani justru
telah menunjukkan kebesaran jiwanya yang sangat menghargai
pemahaman
agama masyarakat Aceh. Beredar informasi, Syeikh Al-Kalbani menjaharkan (mengeraskan) bacaan bismillah
ketika membaca Fatihah. Tidak hanya itu, beliau juga membaca doa qunut
pada saat memimpin shalat Subuh, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan di
negerinya.
Tentunya hal ini tak pernah terduga
sebelumnya dan mungkin tak pernah terpikir oleh kita yang dipenuhi sakwa
sangka. Ketakutan berlebihan yang melanda santri seperti Muhammad Iqbal
Jalil cs selama ini hanyalah ketakutan yang tak beralasan.
Apa yang telah dilakukan oleh Syeikh
Al-Kalbani di Aceh, tentunya berbeda jauh dengan tingkah sebagian
masyarakat Aceh yang datang ke tanah suci.
Ada orang Aceh (sebagain kecil) yang tidak
mau shalat di belakang Imam Masjidil Haram ketika mereka pergi haji
atau umrah. Alasan mereka, karena imamnya Wahabi. Tapi anehnya mereka
(masyarakat kita) masih berthawaf di Ka’bah yang saban tahun dijaga dan
dibersihkan oleh Wahabi. Kita menghujat Wahabi, tapi setiap musim haji
kita berwuquf di “Negeri Wahabi”. Tentunya Allah Subhanahu wata’aala
Maha Tahu, kepada siapa tanah haram itu pantas dititipkan.
Semoga saja, apa yang telah dilakukan oleh
Syeikh Al-Kalbani di Aceh dapat menjadi renungan bagi kita semua.
Meskipun beliau bermazhab “non Syafi’i”, tapi sangat menghormati mazhab
yang dianut orang Aceh.
Hal serupa juga sangat sering dilakukan oleh
imam-imam kaum Muslimin di masa lalu, semisal Imam Syafi’i yang
meninggalkan bacaan qunut ketika beliau shalat di seputaran makam Imam
Abu Hanifah. Toleransi seperti ini harus terus kita lestarikan di
Indonesia, bukan caki-maki dan saling mencela.
Akhirnya kita cuma bisa berharap agar kaum
muslimin tidak terkotak-kotak dan saling tuding-menuding satu sama
lain dengan stigma-strigma buruk semisal stigma Wahabi, kecuali Syiah
kelompok yang paling sibuk mencari celah persatuan Ahlus Sunnah.
Bagaimanapun, ego mazhab harus dikesampingkan dan ukhuwah Islamiyah harus dikedepankan. Wallahu A’lam.*
Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana
UIN Ar-Raniry, Konsentrasi Pemikiran dalam Islam, dan juga mantan
santri di Dayah Darussa’dah
sumber: http://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2015/03/25/67332/aceh-dan-wahabi-sebuah-wacana-menarik-2.html#.VRJikI5p77k