“Subarashi..! Subarashi..!” atau “Luar Biasa.! Luar Biasa!”, itulah yang ber-ulangkali diucapkan oleh Omar-san, orang Jepang dalam kloter haji kami.
Kalimat itu diucapkannya saat melihat Ka’bah.
Bersama dengan Omar-san, ada 10 orang Jepang lain yang ikut haji tahun ini dari kloter haji embarkasi Jepang.
Bagi Omar-san, yang baru memeluk Islam 3 tahun lalu, ini adalah kali
pertamanya naik haji. Ia begitu kagum dan terkesima dengan masif-nya
jumlah jamaah haji dari berbagai penjuru dunia yang datang saat
bersamaan dan melakukan ritual haji yang sama.
Ada satu kekuatan besar yang mampu membawa berjuta-juta orang secara
sukarela datang ke tanah suci. Hal itulah yang membuatnya terpana di
depan Ka’bah.
Berangkat haji bersama orang Jepang menarik. Bagaimana tidak, selama
tinggal di Jepang, saya jarang melihat orang Jepang yang beragama Islam
(ataupun beragama lainnya, Kristen atau Yahudi). Kebanyakan tidak
memilih agama tertentu, mereka kebanyakan menganut ajaran Shinto yang
lebih bersifat budaya ketimbang agama.
Sehari-hari, sebenarnya orang Jepang sudah berperilaku lebih dari orang
beragama. Mereka sangat santun, sabar, bersih, tekun, disiplin, dan
tertib dalam ber-masyarakat. Semua ajaran agama yang menganjurkan
kebaikan dan perilaku terpuji telah mereka terapkan tanpa harus memeluk
suatu agama tertentu. Hal ini bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari.
Agama, datang ke dunia untuk memperbaiki akhlak, atau perilaku manusia.
Sayapun bertanya pada Omar-san, apabila akhlak di masyarakat sudah baik,
masih perlukah orang Jepang memeluk agama?
Menurutnya, Jepang memang sebuah masyarakat yang tertata baik dan
aplikatif dari ajaran "agama-nya". Namun pada ujungnya, manusia tetap
membutuhkan tambatan hati. Sebuah oase tempat mengadu dalam keadaan
sendiri, baik suka maupun duka. Sebuah tautan kala sedang dirundung
beragam masalah dan tekanan dunia.
Tanpa agama, berbagai pelarian dicari oleh orang Jepang untuk mencari
ketenangan hati. Jadi., menurut Omar san, orang Jepang masih memerlukan
agama.
Hal itulah yang melatarbelakangi Omar-san untuk memeluk agama. Ia
mengatakan bahwa setelah beragama, ia menemukan ketenangan hati dan
kedamaian jiwa. Meski demikian, banyak orang yang bertanya padanya,
tidakkah sulit menjadi Islam di Jepang?
Permasalahan bagi orang Jepang dalam memeluk Islam bukan pada ideologi, namun pada urusan praktikalitas ritual.
Menjalankan ibadah sholat sebanyak 5 kali sehari, puasa sebulan, dan
melaksanakan haji, adalah aktivitas yang sangat sulit dalam lingkungan
orang Jepang.
Bangsa Jepang adalah pekerja keras. Bekerja di perusahaan Jepang
misalnya, sulit mendapat dispensasi ijin sholat pada waktunya, apalagi
cuti ibadah haji. Nyaris mustahil untuk dikabulkan. Belum lagi soal
pilihan makanan halal yang amat jarang di Jepang.
Namun berbeda dengan barat yang memiliki prejudice tentang Islam,
di Jepang pandangan masyarakat tentang Islam tidak seburuk di barat.
Bagi orang Jepang, agama apa saja dipandang baik, karena ajaran setiap
agama adalah mengarah pada kebaikan. Oleh karena itu, Islam lebih
gampang diterima banyak orang Jepang.
Omar-san sendiri beruntung. Ia adalah Presiden Direktur (Sachoo) sebuah
perusahaan konstruksi milik sendiri. Perusahaannya tergolong besar di
daerah Kasugai, Aichi-Ken, di sekitar kota Nagoya. Jadi., ia bisa
mengatur praktik ritual agama, termasuk saat ia memutuskan naik haji
bersama istrinya, yang juga orang Jepang.
Selain Omar-san ada Saif Takehito, diplomat Jepang di Kedutaan Besar
Jepang di Dubai. Jago bahasa Arab dan ahli membaca Al Qur’an (saya saja
sampai minder mendengar ia membaca Qur’an). Sementara yang lain-nya
Muhammad Syarief seorang wirausaha tinggal di Tokyo.
Karakter dan kultur dari orang Jepang yang baik dan santun, tercermin
saat menjalankan ibadah haji. Dalam kondisi apapun, mereka tetap diam
dan sabar. Persis saat mereka menghadapi bencana alam Maret lalu.
Tekanan terbesar dari ibadah haji adalah soal kesabaran. Mulai dari
kedatangan di Arab, prosesi ibadah, aktifitas sehari-hari, hingga
kembali ke Jepang, ujian kesabaran silih berganti.
Banyak dari kita yang kadang lepas kontrol, lalu marah-marah dan malah
beradu mulut dengan jamaah lain. Tapi saya melihat para jamaah haji dari
Jepang memiliki kesabaran yang tinggi. Padahal mereka dihadapkan pada
kondisi yang bertolak belakang dengan keadaan negaranya yang tertib dan
teratur.
Suatu malam di Mina, terjadi kekacauan di maktab kami, saat kembali dari
melempar jumrah, tenda kami dipindahkan pengelola. Akibatnya,
barang-barang semua tercecer, bahkan ada yang kehilangan. Beberapa
jamaah haji dari negara lain ada yang marah-marah dan menyalahkan
panitia karena tidak menjaga barangnya dan bahkan sampai ingin menuntut
ganti rugi.
Masya Allah! Mereka sampai harus ditenangkan oleh semua yang ada di
tenda, “Sabar haji. Sabar. Istighfaar. This is Hajj...”. Baru-lah
kemudian mereka mengucapkan istighfar dan meminta maaf karena
menimbulkan kekacauan di tenda.
Sementara itu saya melihat Muhammad Syarief (jamaah haji Jepang) kehilangan sleeping bag-nya
hanya celingak celinguk tapi diam saja tanpa protes dan mengeluh. Ia
malah menggelar handuk dan tidur langsung di karpet dalam diam. Simpati
jamaah di tenda kami-pun diarahkan pada dirinya. Kamipun meminjamkan-nya
sleeping bag, memberinya obat dan makanan, serta menawarkan lokasi tidur yang nyaman. Semua jamaah simpati pada kesantunan orang Jepang ini.
Hal serupa saya juga perhatikan dari diri Saif Takehito. Suatu malam
kita harus menunggu di Arafah hingga menjelang tengah malam. Saat itu
ada kecelakaan bis sehingga semua jalan menuju Muzdalifah ditutup.
Akibatnya bis rombongan kita tertunda keberangkatannya ke Muzdalifah.
Banyak jamaah di kelompok kami yang beradu mulut dan berdebat. Mereka
merasa harus tiba di Muzdalifah sebelum tengah malam dan melakukan
sholat dua rakaat, sesuai sunah Nabi. Pimpinan rombongan mengatakan
bahwa dalam kondisi darurat, sholat bisa dilaksanakan di Arafah. Tapi
banyak jamaah yang tidak terima, perdebatanpun terjadi bahkan cenderung
memanas.
Saif Takehito saya lihat hanya duduk saja di bawah pohon sambil berulangkali melafazkan nama-nama Allah (berdzikir).
Saat saya tanya bagaimana pendapatnya, Saif berkata yang terjadi di luar
kehendak manusia, kita tak bisa berbuat apa. Semua kehendak Allah. Jadi
janganlah kita saling berbantahan, kita harus bersabar dan ikuti
perintah pimpinan kita.
Masya Allah, jadi malu oleh ucapan dari orang Jepang yang notabene baru memeluk Islam.
Meski orang Jepang dihadapkan pada suasana yang jauh berbeda dengan
negerinya, mereka ternyata bisa memahami dan tetap sabar. Mereka tidak
mengeluh dan menyalah-kan keadaan.
Hal tersebut memberi saya sebuah kesadaran, bahwa keber-agama-an bukan
semata soal pengetahuan. Akhlak dan perilaku baik, terbentuk bukan saja
dari pengetahuan, tapi lebih pada kebiasaan.
Orang Jepang sejak kecil sudah dibiasakan dan di-didik berbuat baik, sabar, dan memerhatikan kepentingan orang lain.
Di sekolah, di rumah, di masyarakat, ajaran dan yang dilihat sama.
Sementara banyak orang beragama yang hanya diajarkan dan diminta
menghafalkan cara berbuat baik dan sabar.
Itulah sebabnya dulu Nabi Muhammad Saw senantiasa berkata, “Biasakanlah
berbuat baik., biasakanlah berbuat baik”. Bukan menghafal perbuatan
baik, tapi membiasakan berbuat baik. Tentu tujuan-nya agar kita menjadi
orang baik, yang sebaik-baiknya.
Semoga bermanfaat.
sumber : disini
Your Ads Here
Relawan Digital
Ragam
Orang Jepang Naik Haji, “Subarashi..! Subarashi..!” (“Luar Biasa! Luar Biasa!”)
Artikel Terkait
Next Article
« Prev Post
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Next Post »
Penulisan markup di komentar
- Untuk menulis huruf bold gunakan
<strong></strong>
atau<b></b>
. - Untuk menulis huruf italic gunakan
<em></em>
atau<i></i>
. - Untuk menulis huruf underline gunakan
<u></u>
. - Untuk menulis huruf strikethrought gunakan
<strike></strike>
. - Untuk menulis kode HTML gunakan
<code></code>
atau<pre></pre>
atau<pre><code></code></pre>
, dan silakan parse kode pada kotak parser di bawah ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)