Belum sempat Duha kami tegakkan seperti biasa. Baru beberapa siswa
setor hafalan seperti biasa. Belum sempat tausiyah rutin disampaikan.
Belum lagi kebiasaan saya ”menyentil” siswa yang enggan remedial. Belum
sempat. Tiba-tiba lantai tiga sedikit bergoyang. Mungkin ada gempa.
Semua berhamburan.
Gempa memang menakutkan. Terutama gempa berskala besar, getaran dan
efek rusaknya membuat trauma. Banyak orang ”bangkrut” karena gempa.
Kehilangan harta, anak dan isteri bahkan kehilangan nyawa karenanya.
Banyak yang kaya jadi miskin. Dahulu tidur di rumah besar, indah dan
asri tetapi tiba-tiba harus berdesakan di tenda pengungsian. Pengap,
panas, kotor dan tidak hygienis. Tak ada yang tersisa dari rumah
idamannya. Rumah yang dibangun dari jerih payah dari rezeki yang
disisihkan. Rumah yang sering dibanggakan ketika tamu bertandang. Dengan
segala dekorasi hiasan, barang antik dan perabot yang dipasang
berjejer. Dengan kolam renang yang menawan di sisi taman buatan yang
menyejukkan mata memandang. Semuanya tak tersisa. Hancur. Sementara
gubuk reyot tetangganya tetap kukuh berdiri. Seolah menunjukkan
kegagahan pada si kaya bahwa ia masih mampu berdiri dan masih sanggup
melindungi penghuninya dari terik dan curah hujan yang mengguyur bumi.
Itulah gambaran dunia yang sesungguhnya. Gempa hanya satu instrumen
bahwa dunia ini kapan saja bisa lenyap sebab kefanaannya.
Getaran gempa bisa menjadi sumber belajar yang dapat mengantarkan
kepada kuasa Allah. Fenomena getar alam itu juga bisa didisain untuk
mengikis berbagai citra diri yang negatif semisal takabbur, ujub, riya,
sum’ah, tamak, kikir, ananiyah dan sebagainya menuju kesadaran baru.
Kesadaran yang insyaf bahwa manusia amatlah kecil berhadapan dengan
kekuasaan Sang Pencipta. Semestinya juga, getaran gempa semakin
menyadarkan manusia bahwa skenario akhir zaman dan kehancuran dunia
menambah bobot iman akan kepastian kiamat. Menjadilah ia dermawan,
ikhlas, syukur, qona’ah, suka dengan taubat dan tawadhu di hadapan Allah
dan sesama.
Masya Allah, entah sudah berapa ribu kali getaran gempa menyapa hidup
kita. Dari yang berskala kecil yang nyaris tidak kita sadari sampai
pada skala yang mampu mengangkat pondasi gedung bertingkat dan
merobohkannya layaknya rumah kardus. Tetapi, apakah setiap manusia mau
secara ikhlas mengambil pelajaran dari peristiwa itu? Tidak. Nyatanya
hanya orang yang memiliki kehalusan akhlak, kemurnian tauhid dan
ketundukkan pada aturan Allah saja yang menjadikannya sebagai sinyal
agar menjadi lebih ahsan dari hari kemarin, hari ini dan esok harinya.
Nyatanya, tidak sedikit manusia yang tetap takabbur walau ribuan kali
gempa terjadi. Mereka masih senang membabat hutan tanpa peduli menanam
generasi pohon sesudahnya. Masih ada manusia yang membuang limbah di
aliran sungai hingga kejernihannya dirampas tak tersisa walau hanya
sekedar untuk mencuci sandal jepit. Begitu juga yang dialami eksosistem
dan biota laut. Terumbu karang dirusak, hutan bakau dipangkas, pasir
laut dikeruk dan entah apalagi kezaliman yang dilakukan manusia demi
memenuhi ambisi perutnya.
Sikap takabbur juga masih ditunjukkan manusia tertentu dalam bentuk
yang lebih lunak tetapi daya rusaknya tidak kalah dahsyat. Belakangan
begitu banyak idiologi diumbar yang secara terang-terangan mengajak
orang durhaka kepada Allah dengan dalih kebebasan, HAM, kesetaraan dan
berbagai jargon yang menyilaukan. Bagaimana tidak diartikan sebagai
kedurhakaan apabila kebebasan didefiniskan sebagai bebas menjadi Nabi
sesudah Rasulullah, menganggap halal pernikahan sejenis atau bahwa
seorang muslim taat akan berdampingan dengan Thomas Alfa Edison di surga
kelak?
Begitu banyak orang durhaka menjadi soleh dengan merasakan getaran
kekuasaan Allah dalam peristiwa gempa. Kikirnya menjadi dermawan.
Congkaknya berubah ramah. Maksiatnya macet dan ibadahnya lancar. Kecut
masam wajahnya berangsur hilang berganti senyum keramahan. Punuk yang
terbuka telah dibalut hijab. Masya Allah … itulah mereka yang masih
memiliki sedikit sisa kehalusan akhlak, kemurnian tauhid dan ketundukkan
pada aturan Allah. Gempa segera mengembalikannya kepada kesadaran
ilahiyah yang tertimbun hiruk pikuk kilau duniawi.
Gempa memang menakutkan. Tetapi juga tidak sedikit manusia lemah yang
semakin congkak, seperti para penjaja idiologi yang sering ditempatkan
sebagai pahlawan bagi ”peradaban” dan faham agama yang disebut lebih
sesuai zaman. Seperti para akrobat di meja peradilan di mana hukum
dipermainkan. Seperti para pengedar narkoba yang merusak mental generasi
bangsa. Seperti …. seperti …. seperti … entah seperti apa lagi.
Betapa rapuhnya dunia ini dan betapa lemah kita di hadapan Allah.
Secara fisik, manusia memang ahsanu taqwim, tetapi kadang tidak berdaya
berhadapan dengan serangan virus yang tubuhnya saja tidak dapat dilihat
mata telanjang. Tiba-tiba saja manusia merasakan pedih hanya karena ada
debu halus melekat di dinding bola matanya. Dalam kenikmatan makan,
kadang manusia amat bergantung kepada air hanya untuk mendorong masuk
makanan di tenggorokan atau tersedak aroma lezatnya hidangan. Manusia
begitu lemah sehingga tidak sadar seekor lalat pun telah berhasil
mencuri makanannya. Bahkan tidak sedikit nyawa melayang di atas
kendaraan hanya karena manusia tidak kuasa melawan rasa kantuk yang
membawanya ke liang kubur. Mengapakah rasa angkuh masih bersemayam?
Getaran bumi dalam peristiwa gempa semestinya menggetarkan kesadaran
ilahiyah atas tanda-tanda kekuasaan al-Mutakabbir. Bahwa kapan saja
Allah bisa merenggut segala milik manusia sesuai kefanaan sifatnya. ”Sesungguhnya
perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami
turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu
tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang
ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai
(pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti
menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya adzab Kami di waktu malam
atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman tanamannya) laksana tanam-tanaman
yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.
Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada
orang-orang yang berpikir.” Demikian pesan Allah dalam QS. Yunus [10] : 24).
Dunia seperti gelapnya malam yang sukar ditebak. Berjalan di gelapnya
malam tanpa cahaya sama saja berjudi dengan nasib. Mencintainya
berlebihan seperti meminum air laut di tengah dahaga. Semakin diminum
semakin dahaga. Sementara iman seperti obor di tengah kegelapan malam.
Dengannya manusia mantap melangkah dan berpijak. Manusia beriman tahu
mana yang harus di pijak dan mana yang harus lingkahi dengan imannya.
Dan bagi manusia beriman, getaran gempa seperti sinyal bahwa ia harus
lebih merapat kepada kemurahan dan perlindungan Rabbul ’aalamiin. Allahu a’lam.
Ciputat
abdul_mutaqin@yahoo.com
http://www.eramuslim.com/oase-iman/abdul-mutaqin-dunia-seperti-gelapnya-malam.htm#.U-62o6MVzQN