Alkisah,
dalam kitab Azhraf al-Zharfa', Joha bersama putranya pergi ke pasar
mengendarai keledai, sementara putranya berjalan di sampingnya. Ketika
melewati kerumunan, terdengar celoteh, "Dasar orang tua semena-mena,
masak anaknya disuruh berjalan kaki." Merasa tidak nyaman dengan
celotehan, Joha turun dari punggung keledai dan berganti posisi dengan
anak.
Di
kerumunan lain, terdengar cemoohan, "Dasar anak durhaka, tega sekali
membiarkan bapaknya berjalan kaki sementara ia duduk enak." Ia menyuruh
putranya turun dan berjalan kaki bersamanya sementara keledainya
dituntun.
Beberapa
langkah kemudian, orang-orang berkomentar, "Orang aneh, mengapa keledai
itu tidak dinaiki." Ia bersama sang anak menaiki punggung keledai. Di
lokasi selanjutnya, orang-orang berseloroh, "Bapak dan anak sama
dungunya, masak seekor keledai lemah ditunggangi berdua." Tak mau
dianggap orang bersalah, Joha dan anaknya turun, lalu keledai itu
dipanggul berdua. Anak-anak kecil yang melihatnya girang dan
tertawa-tawa. Keduanya berjalan hingga sampai di jembatan kecil. Joha
bingung dan serbasalah. Akhirnya, keledai itu dilemparnya ke sungai.
Cerita
di atas adalah gambaran orang yang tidak teguh dalam prinsip. Nashruddin
Joha atau dikenal dengan Nashruddin Hoja, tokoh unik pada masa keemasan
Islam. Ia bermaksud pergi ke pasar untuk berdagang bersama putranya.
Dalam perjalanan, ia terjebak dalam tindakan yang membuat dirinya
kebingungan. Bingung bukan lantaran tawar-menawar harga atau menghitung
keuntungan, melainkan bingung karena melakukan tindakan yang tak
dimengerti oleh dirinya sendiri. Joha lupa bahwa tujuan perjalanannya
adalah berdagang ke pasar. Maksud hati menyenangkan setiap orang, apa
daya bingung yang didapat.
Karakter
Joha dalam kisah di atas menurut teori kepribadian dikenal dengan
conformist personality, pembawaan kepribadian yang cenderung membiarkan
sikap dan pendapat orang lain untuk menguasai dirinya. Tindakan ini
muncul karena ada perasaan khawatir tidak mendapat pengakuan dari orang
lain. Dampak dari kepribadian ini adalah rentan untuk dikuasai oleh
pengaruh-pengaruh liar dan tak mampu mempertahankan tujuan atau prinsip.
Menurut
hierarki Maslow, aktualisasi diri merupakan kebutuhan tertinggi
(meta-needs) dalam hidup. Aktualisasi diri muncul karena adanya
konsistensi terhadap tujuan. Aktualisasi diri penting sebab jika tak
terpenuhi (bagi sebagian orang yang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya)
bisa berakibat metapatologi (penyakit kejiwaan), seperti sinisme,
kebencian, kegelisahan, depresi dan metapatologi lainnya. Namun, dalam
kisah Joha, ia terlampau khawatir sehingga melakukan kekeliruan cara
meraihnya, bahkan mengorbankan tujuannya. Akibatnya, Joha menderita
kerugian waktu, energi, dan keledai.
Alquran
memberi solusi untuk mengantisipasi kekeliruan di atas, yaitu dengan
istiqamah (konsistensi). "Tetap teguhlah kamu pada jalan yang benar
sebagaimana yang telah diperintahkan kepadamu." (QS Hud: 112).
Selanjutnya, bertawakal dengan keputusan yang telah diambil. "Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (QS
Ali Imran: 159). Wallahu A'lam.[republika/islamedia]