Oleh Hasmi Bakhtiar
Pasca Arab Spring di beberapa negara di Timur Tengah yang kini arahnya
semakin tidak jelas, ditambah tragedi kudeta militer di Mesir 30 Juni
2013 silam, negara-negara Timur Tengah dilanda krisis percaya diri.
Satu-satunya yang terus bergerak maju, terlepas dari kontroversi dunia
internasional terhadapnya, hanyalah Iran.
Khusus untuk kawasan teluk, kumpulan negara kaya minyak tersebut pasca
Arab Spring berada dalam kondisi tertekan dan minim kekuatan menghadapi
super power Iran di kawasan. Walaupun Saudi Arabia memiliki hubungan
baik dan merupakan sekutu terdekat Amerika Serikat di kawasan, namun
dibawah kepemimpinan raja Abdullah negara kaya tersebut tidak bisa
berbuat banyak, padahal sebagai pemimpin negara teluk dan kiblat umat
Islam dunia, Saudi Arabia diharapkan memainkan peran lebih dalam
menangkal pengaruh Iran yang semakin luas di Timur Tengah.
Kudeta di Yaman yang baru-baru ini terjadi menjadi bukti bagaimana
kekuatan Iran untuk mengusai kawasan dari segala sisi terutama militer
dan ekonomi bukan omong kosong. Lewat milisi syiah Hauthi Iran berhasil
menguasai Yaman. Sebelumnya Iran sudah menancapkan kuku di Suriah,
Libanon dan ada kemungkinan Kuwait segera menyusul. Satu persatu negara
arab jatuh kedalam 'saku' Iran.
Pada awalnya, bagi-bagi kekuasaan antar negara kuat di Timur Tengah
diprediksi banyak kalangan menjadi solusi ketegangan, dalam hal ini
Saudi Arabia dan Iran, tentu dengan dukungan Amerika Serikat dan Eropa.
Namun peta politik di kawasan sepertinya berubah dan menjadi sedikit
lebih rumit ketika raja Abdullah wafat. Tampuk kekuasaan yang sekarang
dipegang Raja Salman dinilai akan membawa perubahan signifikan di
kawasan.
Walaupun ketika Arab Spring meletus, Saudi Arabia dibawah komando raja
Abdullah memilih mendukung rezim lama, seperti di Mesir misalnya. Tetapi
sudah menjadi rahasia umum, Iran adalah ancaman lama bagi Saudi Arabia.
Gesekan dua negara minyak tersebut bukan hanya memperebutkan 'kue'
negara di kawasan, lebih dari itu, ketidak harmonisan dua negara
tersebut juga dipicu gengsi dua peradaban, Persia dan Arab.
Bagaimanapun, Saudi Arabia adalah kiblat umat Islam di dunia. Tentu
semacam kewajiban bagi Saudi Arabia untuk mempertahankan posisi
terhormat tersebut. Iran, walaupun memakai nama Islam dalam negaranya,
yaitu Republik Islam Iran, tetapi posisi dua negara tersebut sangat
berbeda di hati umat Islam, belum lagi issue Sunni-Syiah yang membuat
cita rasa keduanya sangat berbeda.
Misi Iran menguasai kawasan tentu berdampak terhadap negara teluk yang
dipimpin Saudi Arabia, baik secara politik maupun ekonomi. Ketika milisi
syiah Hauthi berhasil menduduki Yaman beberapa waktu lalu, negara teluk
langsung menggelar pertemuan di Abu Dhabi, guna membahas langkah yang
akan ditempuh untuk menghadang lajunya pengaruh Iran.
Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Bahrain, Kuwait, Qatar dan Oman yang
tergabung dalam kerja sama negara teluk (GCC) tentu tidak ingin
kekuasaan mereka terancam dengan semakin menguatnya pengaruh Iran,
karena itu mereka bersatu untuk menghadang, dibawah komando Saudi
Arabia, yang sekarang komando itu ada di pundak raja Salman.
Raja Salman menjadi harapan para pemimpin negara teluk untuk lebih
berani keras terhadap Iran. Dengan bantuan Amerika Serikat, negara teluk
berharap Saudi Arabia bisa menekan Iran dan melindungi kekuasaan mereka
dari hal serupa yang terjadi di Yaman.
Saya pribadi termasuk orang yang percaya bahwa raja Salman akan
menempatkan Iran sebagai musuh utama dibandingkan musuh Saudi Arabia
lainnya, yaitu Ikhwanul Muslimin di Mesir. Namun dalam waktu bersamaan
raja Salman juga akan tetap menjaga Saudi Arabia dari pengaruh gerakan
Ikhwanul Muslimin.
Disinilah titik perbedaan politik mendiang raja Abdullah dengan raja
Salman, pada penempatan siapa yang akan dihabisi terlebih dahulu.
Mendiang raja Abdullah menghabisi Ikhwanul Muslimin dengan mendanai
kudeta di Mesir, dan sedikit berdamai dengan Iran untuk sementara waktu.
Berbeda dengan raja Salman, walaupun saya tidak terlalu yakin raja
Salman berani melakukan konfrontasi 'jantan' melawan Iran, tetapi
setidaknya dia akan lebih keras dibanding pendahulunya, raja Abdullah,
dan akan sedikit berkompromi dengan Ikhwanul Muslimin, dengan syarat
tidak saling mengganggu.
Dalam agenda raja Salman kedepan melawan Iran, tentu Saudi Arabia tidak
bisa melakukannya sendiri, mengharapkan bantuan negara teluk lainnya
agak mustahil, karena sifat pemimpin negara teluk cenderung lebih
memilih cari aman. Mempertaruhkan kekuasaan untuk melawan Iran sangat
berisiko, jadi posisi negara teluk lebih menunggu langkah berani Saudi
Arabia, sedangkan mereka membantu dari jauh. Solusinya raja Salman mau
tidak mau harus mencari sekutu lain yang kekuatan militer dan ekonominya
memadai.
Erdogan
Kehadiran Erdogan dalam pemakaman raja Abdullah beberapa waktu lalu
cukup menarik. Jadwal Erdogan yang seharusnya berkunjung ke Somalia
ditunda demi menghadiri prosesi pemakaman raja Abdullah, padahal selama
ini Turki dikenal sering berseberangan sikap dengan Saudi Arabia.
Ada yang mengatakan Erdogan adalah sekutu yang dilirik raja Salman untuk
menghadapi Iran. Dengan kekuatan ekonomi dan militer yang dimiliki
Turki, koalisi dua negara tersebut cukup menjanjikan, ditambah kesiapan
Qatar untuk bergabung. Turki pada dasarnya memiliki kepentingan untuk
menekan Iran, terutama dalam kasus Suriah dan perbatasan.
Jika poros Riyadh-Ankara-Doha ini benar-benar terbentuk, tentu memiliki
konsekuensi. Saudi Arabia diperkirakan akan mengganti haluan politiknya
terhadap Ikhwanul muslimin di Mesir, sebagai imbalan untuk sekutu
barunya Turki.
Erdogan dikenal sebagai anak ideologis Ikhwanul Muslimin, penentang
kudeta nomor wahid di Mesir. Ini tentu ancaman bagi negara teluk lainnya
terutama Uni Emirat Arab, dan kemungkinan pecah kongsi dalam tubuh GCC
akan sangat terbuka. Uni Emirat Arab akan meninggalkan Saudi Arabia
kemudian membangun poros Dubai-Al-Manamah-Cairo.
Uni Emirat Arab tidak akan membiarkan Saudi Arabia dan Turki melemahkan
pemerintahan As-Sisi di Mesir dengan membantu perjuangan Ikhwanul
Muslimin. Kekacauan di Mesir merupakan 'nafas' bagi Uni Emirat Arab.
Selama ini Uni Emirat Arab selalu ketakutan jika kondisi Mesir kondusif,
karena akan berdampak terhadap ekonomi negara tersebut terutama sektor
pariwisata.
Namun kedua poros ini umurnya sangat dinamis, sekuat apa perlawanan
penentang kudeta di Mesir. Ketika pemerintah kudeta di Mesir tumbang,
kemungkinan akan ada peta baru diluar dua poros tersebut.
*Hasmi Bachtiar, Alumni Al-Azhar Mesir, Saat ini menempuh S2 di Lille Perancis Jurusan Hubungan Internasional. (Twitter: @hasmi_bakhtiar)
Your Ads Here
Artikel Terkait
Next Article
« Prev Post
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Next Post »
Penulisan markup di komentar
- Untuk menulis huruf bold gunakan
<strong></strong>
atau<b></b>
. - Untuk menulis huruf italic gunakan
<em></em>
atau<i></i>
. - Untuk menulis huruf underline gunakan
<u></u>
. - Untuk menulis huruf strikethrought gunakan
<strike></strike>
. - Untuk menulis kode HTML gunakan
<code></code>
atau<pre></pre>
atau<pre><code></code></pre>
, dan silakan parse kode pada kotak parser di bawah ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)