“Saya
dulu mengharamkan Mauludan. Saya Muhammadiyah. Tapi karena saya sering
diundang di acara Muludan. Jadi ya sekarang saya menghalalkannya,” ujar
Jalaludin Rahmat ringan, dalam acara peluncuran Jurnal Maarif di Aula
Pusat Dakwah Muhammadiyah (13/1). (baca: Ada Jalaluddin Syiah di Markas Muhammadiyah?)
“Mufti
Arab Saudi baru-baru ini mengatakan, bahwa mauludan itu dosa besar,”
tutur Jalal dalam nada mengadu domba. “Menurut Mufti itu, dosanya itu
lebih besar daripada zina dan pembunuhan,” kata Jalal melanjutkan
provokasinya.
Jalaludin
juga bercerita soal kitab Al-Iqna. Ia mengutip pernyataan orang yang
disebutnya ulama Al-Azhar, Muhammad Abdullah Nashir, bahwa kitab Al-Iqna
berisi soal istinja, soal cebok, yang membolehkan pakai kertas taurat
dan injil.
Tak hanya itu, Jalaludin juga menyebut bahwa kitab shahih Imam Bukhari itu memalukan umat Islam.
“Karena
itu buku pertama yang memberi dorongan untuk melakukan terorisme,” ujar
Jalal bermain aman, dengan cara mengutip perkataan ulama yang
direferensinya itu.
Tudingan
yang disebarluaskannya di acara bertema “Politik Kebhinekaan di
Indonesia” itu, kontan memancing tanggapan peserta pada sesi tanya
jawab.
Makmun
Murod Al-Barbasy, yang dikenal sebagai Direktur Pusat Studi Islam dan
Pancasila Universitas Muhammadiyah Jakarta, langsung angkat bicara
setelah diberi kesempatan.
“Saya
mengkaji Al-Iqna juga waktu pesantren. Bahkan kitab itu dikaji di banyak
pesantren di Indonesia. Setahu saya, memang ada soal tatacara istinja
dengan kertas, tapi tidak ada soal kertas Turat dan Injil. Jadi ini
klarifikasi untuk Kang Jalal,” tandas Makmun menegaskan.
Ketika
gilirannya memberi balasan, Jalal kembali menerangkan bahwa itu
didapatnya dari internet. “Google saja,” katanya. Ia sendiri kemudian
mengaku tidak pernah membaca kitab itu, karena latar belakangnya bukan
dari pesantren. “Saya ini Muhammadiyah. Tidak pernah baca kitab-kitab
seperti itu. Kalau Muhammadiyah itu kan bacaannya kitab Al-Maraghi,
kitab tafsir Rasyid Ridho, apa namanya itu, ehh, nah itu, Al-Manar,”
ungkap Jalal berkelit.
Ia
melanjutkan bahwa dirinya bersyukur kalau memang di kitab Al-Iqna yang
ada di Indonesia, tidak ada penulisan soal kertas Taurat dan Injil untuk
istinja.
“Karena dengan beitu berarti ulama-ulama kita di sini dulu sudah bijak, mengedit isi kitab yang tidak sesuai,” ujar Jalal.
“Bahkan kita memang harus mengedit ajaran-ajaran (yang fundamentalis) seperti itu,” lanjutnya.[islamedia/zamrud.kh]