“Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah dan
kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya), dan kuda yang
menyerang dengan tiba-tiba di waktu shubuh, maka ia menerbangkan debu,
dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh. Sesungguhnya manusia itu
sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Rabbnya, dan sesungguhnya
manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya. Dan sesungguhnya dia
sangat bakhil karena cintanya kepada harta. Maka apakah dia tidak
mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, dan
dilahirkan apa yang ada di dalam dada? Sesungguhnya Rabb mereka pada
hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.” (QS. Al ‘Adiyat: 1-11)
Allah,
Yang Maha Menciptakan dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu, seringkali
bersumpah atas nama makhluk-Nya. Berkali-kali kita di hadapkan pada
ayat-ayat dalam Al-Quran yang di dalamnya tertulis Allah bersumpah atas
nama makhluk-Nya. Demi Matahari, Demi Bulan, Demi Bintang, Demi Jiwa,
Demi Bumi, Demi Waktu, dan lain sebagainya. Bukan hak kita menanyakan
mengapa Allah bersumpah atas nama makhluk-Nya. Namun, kita akan temukan
satu hal, jikalau Allah bersumpah atas nama makhluk-Nya, pastilah Allah
menyelipkan berjuta hikmah pada makhluk tersebut.
Syaikh Ibnu
Utsaimin dalam kitabnya Majmu Fatawa wa Rasail Ibn Utsaimin menulis,
“Allah bersumpah dengan ayat-ayat ini sebagai dalil atas keagungan dan
kesempurnaan kekuasaan dan hikmah-Nya. Sehingga bersumpah dengannya
menunjukkan keagungannya dan Tingginya kedudukannya yang mengandung
pujian kepada Allah Azza Wa Jalla. Sementara kita tidak dibolehkan
bersumpah dengan selain nama Allah atau sifat-Nya, karena kami dilarang
melakukan hal itu.”
Sejenak, mari kita perhatikan dengan seksama
ayat demi ayat dalam surah Al-‘Adiyat tersebut. Bila kita teliti, kita
akan menemukan ada hal yang jomplang, atau istilah sekarangnya mak jleb.
Dalam lima ayat pertama, Allah bersumpah atas nama kuda perang yang
berlari terengah-engah, kemudian menjelaskan sepak terjang si kuda.
Tetapi dalam enam ayat ke belakang, Allah menceritakan manusia. Manusia
yang seringkali ingkar kepada Tuhannya. Seolah-olah Allah sedang
menjatuhkan derajat manusia di depan seekor kuda. Padahal manusia
diciptakan dalam bentuk terbaik. Manusia diberi karunia di atas segala
makhluk yang diciptakan-Nya. Dan lebih daripada itu semua, bahwa manusia
diproyeksikan oleh-Nya sebagai pemimpin di muka bumi. Manusia diberi
tanggung jawab oleh Allah sebagai penjaga keseimbangan kehidupan di muka
bumi. Sungguh mulia manusia diciptakan, dan sungguh besar tanggung
jawab manusia di muka bumi.
Namun, Allah menyebutkan bahwa
sesungguhnya manusia itu benar-benar ingkar kepada-Nya. Pernyataan
tersebut diawali dengan pujian Allah kepada makhluk-Nya, yaitu seekor
kuda perang. Dalam surah ini, Allah bersumpah atas nama kuda. Bahwa kuda
adalah salah satu karunia terbesar di antara karunia Allah pada
makhluk-makhluk-Nya. Karena Allah menyebutkan kuda dengan sumpah,
berarti kuda di sini memiliki keistimewaan khusus dibanding hewan-hewan
lainnya. Kuda tersebut berlari kencang dengan terengah-engah. Kuda
tersebut memercikkan api karena hentakkan kakinya yang mengenai batu
saat berlari. Sambil berlari, kuda tersebut kemudian menyerang musuhnya
di waktu shubuh. Akibat kencangnya lari kuda tersebut, lalu debu-debu
pun beterbangan. Kemudian kuda tersebut menyerang dengan menerobos
barisan musuh hingga menembus ke tengah-tengah mereka. Inilah yang
digunakan untuk bersumpah oleh Allah dalam surah ini.
Manusia
harus bisa mengambil pelajaran dari ayat-ayat tersebut. Dari sumpah
Allah kepada kuda, hingga kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang
sangat lengah.
Bersungguh-sungguh
Kuda diciptakan Allah sebagai kendaraan dan juga sebagai perhiasan bagi yang memilikinya. “Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (QS. An-Nahl: 8). Dan di dalam surah Al-‘Adiyat, kuda yang disebutkan adalah kuda yang dikhususkan (dan telah dilatih) untuk berperang. Di antara hewan-hewan yang bisa dijadikan tunggangan, hanya kuda yang sering digunakan dalam perang sejak berabad-abad yang lalu. Lain halnya dengan unta atau gajah yang hanya digunakan oleh pasukan-pasukan tertentu dan dalam keadaan tertentu saja. Hampir setiap bangsa diharuskan memiliki pasukan yang pandai menunggang kuda.
Kuda diciptakan Allah sebagai kendaraan dan juga sebagai perhiasan bagi yang memilikinya. “Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (QS. An-Nahl: 8). Dan di dalam surah Al-‘Adiyat, kuda yang disebutkan adalah kuda yang dikhususkan (dan telah dilatih) untuk berperang. Di antara hewan-hewan yang bisa dijadikan tunggangan, hanya kuda yang sering digunakan dalam perang sejak berabad-abad yang lalu. Lain halnya dengan unta atau gajah yang hanya digunakan oleh pasukan-pasukan tertentu dan dalam keadaan tertentu saja. Hampir setiap bangsa diharuskan memiliki pasukan yang pandai menunggang kuda.
Di awal ayat surah ini disebutkan bahwa kuda
tersebut lari hingga terengah-engah. Kemudian kuku-kuku kakinya
memercikkan api akibat bergesekan dengan batu. Kita dapat memahami bahwa
kuda adalah hewan yang tidak pernah setengah hati dalam bekerja. Kuda
bekerja sesuai dengan kehendak tuannya. Apapun yang diperintah tuannya,
kuda akan menaatinya dengan sepenuh hati. Bila larinya sampai membuat
nafasnya terengah-engah, artinya ia sedang berlari dalam kecepatan
tinggi. Bila larinya menyebabkan munculnya percikan-percikan api dari
kakinya, berarti ia sangat bersungguh-sungguh dalam berlari.
Apa
yang harus dipelajari manusia dari hal ini adalah bersungguh-sungguh
dalam bekerja sesuai potensi dan tugasnya masing-masing. Kuda diberi
kelebihan oleh Allah dalam hal kekuatan otot dan kecepatannya dalam
berlari. Dengan karunia tersebut, kuda dapat dimanfaatkan sebagai
kendaraan perang. Kuda sangat bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas
serta memanfaatkan potensi yang ada pada dirinya.
Bersiap-siaga
“Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Ali Imraan: 200).
“Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Ali Imraan: 200).
Allah
memerintahkan kepada setiap mukmin untuk senantiasa bersiap-siaga
disertai dengan kesabaran dan ketakwaan kepada-Nya. Sebagaimana kuda
perang dalam surah Al-‘Adiyat yang bersiap-siaga berperang menerjang
musuh dalam keadaan apapun kapanpun ia dibutuhkan, bahkan ketika
pagi-pagi buta sekalipun. Tatkala kaum muslimin pun banyak yang masih
tertidur lelap melalaikan shalat subuhnya, sang kuda sudah beranjak
menerjang musuhnya. Dan kuda perang adalah hewan yang terlatih.
Bersiap-siaga
adalah hal yang tidak mudah dilakukan setiap orang. Ini hanya dapat
dilakukan bagi mereka yang terlatih dan melatih dirinya setiap saat.
Betapa beratnya bagi mereka yang belum terlatih untuk beranjak
meninggalkan aktivitas duniawinya ketika azan berkumandang. Betapa
beratnya bagi mereka yang belum terlatih untuk bangun untuk berdiri
berucap kasih mesra kepada Rabb-Nya di sepertiga malam terakhir. Betapa
beratnya bagi mereka yang belum terlatih untuk menahan nafsu syahwatnya
sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari dalam sebulan penuh.
Betapa beratnya bagi mereka yang belum terlatih untuk sekadar
menghabiskan setengah jam waktunya dalam sehari untuk menamatkan satu
juz Al-Quran. Duhai, betapa beratnya bagi diri yang belum terlatih. Maka
latihlah diri agar terbiasa dengan perintah dan larangan-Nya. Agar diri
tidak gagap kala mendapat tanya di alam kubur.
Pemberani
Sang Bijak berkata, “Keberanian tidak akan mempercepat kematianmu, dan takut berperang tidak akan memperlambat kematianmu.” Tidak ada jaminan bila kita maju berperang akan mempercepat kematian kita. Tidak ada jaminan pula bila kita bertahan dan berdiam diri justru akan menunda kematian. Keduanya sama saja. Kematian akan menghampiri kita kapanpun dan dimanapun kita berada. Walau kita berada di sebuah gedung tinggi dengan tembok yang kokoh sekalipun.
Sang Bijak berkata, “Keberanian tidak akan mempercepat kematianmu, dan takut berperang tidak akan memperlambat kematianmu.” Tidak ada jaminan bila kita maju berperang akan mempercepat kematian kita. Tidak ada jaminan pula bila kita bertahan dan berdiam diri justru akan menunda kematian. Keduanya sama saja. Kematian akan menghampiri kita kapanpun dan dimanapun kita berada. Walau kita berada di sebuah gedung tinggi dengan tembok yang kokoh sekalipun.
“Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, sekalipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh” (QS. An-Nisaa: 78).
Apa
yang dapat kita pelajari dari kuda yang disebutkan dalam surah
Al-‘Adiyat, salah satunya adalah keberanian yang dimiliki kuda perang
tersebut. Dalam beberapa kurun ini tak jarang kita mendapat kabar
kejadian tawuran di beberapa tempat, baik yang dilakukan antar pelajar,
antar suku, bahkan antar suporter sepak bola. Ini adalah sikap pengecut
yang dilakukan oleh para pengecut pula. Hal sepele yang dibesar-besarkan
kemudian melecutkan kerusuhan. Berapa banyak jiwa yang tergadai atas
kesia-siaan diakibatkan ulah para pengecut ini. Kalaulah satu di antara
para pelaku tawuran tersebut diperintah maju satu per satu, tentulah
mereka tidak seberani ketika menyerang ramai-ramai.
Tidak demikian
halnya pada kuda perang. Mereka dengan gagahnya lari menerjang ke
tengah sekawanan musuhnya. Tanpa ada rasa takut sedikitpun, meskipun
kuda itu sendirian –bersama penunggangnya. Jiwa pemberani adalah jiwa
yang dimiliki para pejuang. Pejuang bukanlah hanya dalam perang, pejuang
ada dalam setiap aspek kehidupan. Setiap pejuang adalah mereka yang
mempunyai jiwa keberanian sejati. Dan keberanian sejati adalah mereka
yang bersedia dikoreksi bila salah dan siap menerima kebenaran meskipun
dari orang yang memiliki kedudukan lebih rendah. Keberanian dan sikap
tegas dalam menerima kebenaran adalah keberanian yang sebenarnya.
“Maka
demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dengan keputusan yang kamu berikan dan
mereka menerima sepenuhnya.” (QS. An Nisa: 65
“Sesungguhnya
jawaban orang-orang yang beriman bila mereka dipanggil kepada Allah
Subhannahu wa ta’ala dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) di
antara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh.” Mereka
itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An Nur: 51)
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang patut diteladani
kehidupannya sejak bangun tidur hingga tidur lagi, adalah juga pejuang
yang pemberani. Kita dapat mengambil keteladanan yang beliau ajarkan
kepada kaummnya. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa Rasul adalah
orang pertama yang berani mendatangi tempat atau sumber bahaya:
“Rasulullah adalah orang yang paling baik, paling pemurah, dan paling
berani. Pada suatu malam, penduduk Madinah dikejutkan oleh suatu suara,
lalu orang banyak keluar ke arah datangnya suara itu. Di tengah jalan,
mereka bertemu dengan Rasulullah yang justru sudah hendak pulang (dari
suara itu).
Rupanya beliau telah mendahului mereka ke tempat datangnya
suara itu. Beliau mengendarai kuda yang dipinjamnya dari Abu Thalhah,
sambil menyandang pedang. Beliau bersabda: ‘Sungguh kudapati kuda ini
sedemikian kencang larinya bagaikan ombak menggulung lautan. (Dalam
riwayat lain: Sungguh kuda ini bagaikan ombak menggulung lautan) Kata
Anas (bin Malik): ‘Padahal kuda itu sebelumnya sangat pelan jalannya.’”
(HR. Muslim)
Baik dari segi fisik, maupun sikap, pejuang adalah
mereka yang memiliki keberanian. Dan sebaik-baik keberanian adalah
keberanian membela kebenaran, meski keberanian tersebut akan mengundang
pedang membelah lehernya, atau peluru menghujam jantungnya. Poin-poin
yang dipaparkan di atas ialah poin-poin yang dimiliki oleh makhluk
bernama kuda. Sedangkan di ayat-ayat selanjutnya (ayat ke-6 seterusnya),
Allah menjelaskan bahwa manusia sesungguhnya bukan makhluk yang lebih
baik, jika mereka tidak menyadari akan adanya siksa kubur.
Sampai
di sini, baiknya kita renungi sedalam-dalamnya. Apakah kita, sebagai
manusia, sebagai khalifah di muka bumi, sebagai makhluk Allah yang
tercipta sempurna, lebih baik daripada kuda? Atau hidup kita dapat
disamakan dengan kuda? Atau jangan-jangan kita lebih buruk daripada
kuda?