Momentum Iedul Adha selalu
mengingatkan kita kepada keteladanan keluarga Nabi Ibrahim As. Ada
sangat banyak keteladanan yang bisa kita dapatkan dari keluarga beliau,
sebagaimana dijelaskan secara terperinci dalam Surat Ash-Shaffat [37]:
99-112.
Pertama, keluarga Ibrahim As memiliki visi Rabbani (Ketuhanan) yang sangat kuat. Nabi Ibrahim dan isterinya saling menjaga dan saling memelihara dalam ketaatan kepada Allah.
“Dan Ibrahim berkata: "Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku” (Ash Shaaffaat : 99).
Kedua, selalu berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar mendapatkan anak dan keturunan yang saleh sebagai pewaris dan penerus perjuangan orang tuanya.
“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh” (Ash Shaaffaat : 100).
Ketiga, membangun keyakinan terhadap turunnya pertolongan Allah yang dilandasi dengan kegigihan berusaha dan berikhtiar. Ketika mencari air untuk memenuhi kebutuhan anaknya Ismail yang masih kecil, Siti Hajar berlari-lari kecil antara Bukit Safa dan Bukit Marwah.
Dengan izin-Nya, akhirnya keluarlah mata air yang tidak pernah diduga sebelumnya, yaitu air zamzam.
Keempat, membiasakan keterbukaan dan musyawarah dalam keluarga sehingga timbul pemahaman dan pengertian yang baik. Ketika bermimpi untuk menyembelih anaknya --yang diyakininya sebagai perintah Allah SWT--- Nabi Ibrahim tetap berdialog dan berkomunikasi dengan anaknya.
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu! Ia menjawab: Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar" (Ash Shaaffaat : 102).
Kelima, kelembutan dan kehangatan dalam interaksi dalam keluarga. Lihatlah bagaimana Nabi Ibrahim memanggil putranya dengan sebutan lembut, “Ya bunayya”. Ia tidak memanggil dengan ungkapan “Ya Ismail”.
Maka anaknya pun membalas dengan panggilan yang juga sangat lembut “Ya Abati”, bukan semata-mata “Ya Abi”. Ini adalah keteladanan yang besar dalam dunia kita sekarang, dimana telah banyak terjadi keretakan dan kehancuran keluarga.
Keenam, membangun semangat berkorban untuk menumbuhkan kecintaan kepada Allah SWT dan kecintaan kepada sesama manusia. Ismail menyerahkan dirinya sepenuh hati saat sang ayah menceritakan mimpi yang didapatkan dari Allah. Tidak ada penolakan bahwa dirinya akan dikorbankan, justru ia mencontohkan semangat berkorban, dan Allah mengganti korban itu dengan domba.
“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” (Ash Shaaffaat : 107).
Inilah beberapa keteladanan utama dalam membangun keluarga yang kuat yang telah dicontohkan oleh keluarga Nabi Ibrahim As untuk dijadikan pelajaran dan contoh bagi kita semua yang menginginkan keluarganya bahagia.
"Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia" (QS. Al-Mumtahanah [60]: 4)
(Cahyadi Takariawan)
Pertama, keluarga Ibrahim As memiliki visi Rabbani (Ketuhanan) yang sangat kuat. Nabi Ibrahim dan isterinya saling menjaga dan saling memelihara dalam ketaatan kepada Allah.
“Dan Ibrahim berkata: "Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku” (Ash Shaaffaat : 99).
Kedua, selalu berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar mendapatkan anak dan keturunan yang saleh sebagai pewaris dan penerus perjuangan orang tuanya.
“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh” (Ash Shaaffaat : 100).
Ketiga, membangun keyakinan terhadap turunnya pertolongan Allah yang dilandasi dengan kegigihan berusaha dan berikhtiar. Ketika mencari air untuk memenuhi kebutuhan anaknya Ismail yang masih kecil, Siti Hajar berlari-lari kecil antara Bukit Safa dan Bukit Marwah.
Dengan izin-Nya, akhirnya keluarlah mata air yang tidak pernah diduga sebelumnya, yaitu air zamzam.
Keempat, membiasakan keterbukaan dan musyawarah dalam keluarga sehingga timbul pemahaman dan pengertian yang baik. Ketika bermimpi untuk menyembelih anaknya --yang diyakininya sebagai perintah Allah SWT--- Nabi Ibrahim tetap berdialog dan berkomunikasi dengan anaknya.
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu! Ia menjawab: Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar" (Ash Shaaffaat : 102).
Kelima, kelembutan dan kehangatan dalam interaksi dalam keluarga. Lihatlah bagaimana Nabi Ibrahim memanggil putranya dengan sebutan lembut, “Ya bunayya”. Ia tidak memanggil dengan ungkapan “Ya Ismail”.
Maka anaknya pun membalas dengan panggilan yang juga sangat lembut “Ya Abati”, bukan semata-mata “Ya Abi”. Ini adalah keteladanan yang besar dalam dunia kita sekarang, dimana telah banyak terjadi keretakan dan kehancuran keluarga.
Keenam, membangun semangat berkorban untuk menumbuhkan kecintaan kepada Allah SWT dan kecintaan kepada sesama manusia. Ismail menyerahkan dirinya sepenuh hati saat sang ayah menceritakan mimpi yang didapatkan dari Allah. Tidak ada penolakan bahwa dirinya akan dikorbankan, justru ia mencontohkan semangat berkorban, dan Allah mengganti korban itu dengan domba.
“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” (Ash Shaaffaat : 107).
Inilah beberapa keteladanan utama dalam membangun keluarga yang kuat yang telah dicontohkan oleh keluarga Nabi Ibrahim As untuk dijadikan pelajaran dan contoh bagi kita semua yang menginginkan keluarganya bahagia.
"Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia" (QS. Al-Mumtahanah [60]: 4)
(Cahyadi Takariawan)