Sudahkah kalimat "terima kasih"
selalu terhadiahkan kepada setiap orang yang pernah membantu Anda? Jika
ya, maka Anda tak perlu khawatir, karena saya tidak sedang berbicara
tentang Anda. Tapi tentang orang-orang di sekitar kita, dan mungkin saja
termasuk saya.
Kalau pun tulisan ini saya beri judul "Indonesian Culture", anggap saja
yang saya maksud adalah orang Indonesia selain Anda.
Nyaris setiap hari, setiap jam dalam hidup kita selalu dibantu oleh
pihak lain, disadari atau tidak. Sejak awal bangun pagi, sudah ada
pembantu yang memasak air panas untuk menyeduh kopi, bahkan kopi sudah
tersedia sebelum kita beranjak dari tempat tidur. Berangkat ke kantor
dengan pakaian yang tidak kusut, tentu ada yang menyetrikanya.
Sepatu pun sudah disemir mengkilap, bukan bim salabim kan? Sampai
sarapan sudah siap tersaji di meja makan sebelum kita meminta. Bukan
soal siapa yang menyiapkannya, bisa jadi sang isteri lihai dan sigap
yang melakukan itu semua, atau pembantu kita yang super hebat. Tapi
terpenting dari soal siapa adalah, berterima kasihkah kita untuk setiap
pelayanan memuaskan itu?
Keluar dari rumah, entah dengan sopir pribadi yang telah mencuci bersih
mobil dan menyiapkan kendaraan agar tak ngadat di jalan, sehingga kita
tak terlambat tiba di kantor. Atau bagi orang yang harus menggunakan
jasa angkutan umum untuk dari dan ke kantor, pernahkah kalimat "terima
kasih" juga terucap kepada kondektur atau sopir angkutan umum yang kita
tumpangi?
Tiba di kantor, tak perlu bertanya siapa yang sudah datang lebih pagi
membersihkan meja kerja yang kemarin sore kita tinggalkan dalam keadaan
kotor dan berantakan. Air putih atau teh hangat sudah tersedia di meja
kerja, bahkan menjelang siang pun kita masih berteriak, "Jang, kopi susu
dong," kepada office boy yang setia melayani. Apakah si Ujang pelayan
setia kita di kantor itu selalu mendapatkan hadiah "terima kasih" untuk
air putih dan kopi susu yang ia sajikan? Walau pun ia tahu, menuntut
ucapan "terima kasih" bukanlah haknya.
Rasanya, nyaris seluruh hidup kita dari pagi sampai pagi kembali selalu
dibantu orang lain. Bahkan di rumah pun, saat lelah menyengat sepulang
kerja, serta merta sang isteri dibantu si kecil membukakan sepatu dan
kaus kaki, kita pun berpikir, itu sudah kewajiban mereka;
Melayani kita yang bekerja seharian. Andai isteri mendengar kalimat itu,
mungkin ia akan berujar, "Kamu pikir saya di rumah hanya tidur-tiduran
saja?"
Saya pun tergelitik untuk menghitung berapa banding berapa antara
pelayanan yang saya dapatkan dengan ucapan terima kasih yang terlontar.
Saya sering lupa berterima kasih kepada isteri yang setiap malam
menemani saya tidur, atau berterima kasih kepada Si Eceu yang
setiap pukul 05.30 sudah datang untuk membantu isteri saya mencuci
pakaian. Saya sering lupa berterima kasih kepada petugas pom bensin yang
sering mengisi penuh tangki motor saya. "Itu memang pekerjaannya, dan
kewajiban saya sudah selesai hanya dengan memberikan sejumlah
uang sesuai jumlah bensin terisi," mungkin begitu pikir nakal saya. Mana
rasa terima kasih saya?
Ujang sang office boy kantor yang tak pernah menolak permintaan kita, percayalah, "terima kasih" yang kita ucapkan saat ia mengantarkan segelas air putih atau teh hangat akan membuatnya senang setiap kali kita memintanya kembali. Boleh jadi, ucapan terima kasih itu akan sedikit menghiburnya dari kemurungan setiap kali menerima upah bulanannya yang tak seberapa dari gaji kita. Bahkan ada sopir angkutan umum yang termangu sesaat hanya karena mendengar ucapan terima kasih saat penumpang memberikan ongkos. Bisa jadi, ia baru saja menemukan manusia langka. Atau jangan-jangan, itu kalimat "terima kasih" pertama yang ia dapatkan sepanjang tahun berprofresi sebagai sopir angkot.
Sudahlah tak pernah berterima kasih, kadang kita menambahi sikap kita dengan banyak menuntut. Merasa sudah membayar gaji pembantu, kemudian kita berhak membentak-bentak wanita berbayaran kecil itu hanya karena masih ada sedikit noda di kemeja. Kita juga marah-marah kepada office boy yang lambat mengantarkan minuman, atau kepada sopir angkot yang secara tak sengaja melewatkan beberapa meter saja dari tempat berhenti kita semestinya. Lalu, kita memberikan ongkos dengan hati kesal dan wajah kecewa.
Tak pernah merasa puas dengan apa yang sudah orang lain lakukan untuk kita, dan kita senantiasa menuntut lebih dari orang lain. Meminta orang lain melakukan lebih banyak, lebih baik, lebih sering dari yang sudah dilakukannya. Orang lain melakukan pekerjaan tidak sesuai dengan yang kita inginkan, kita lebih dulu marah, dan kemudian lupa mengucapkan terima kasih. Ucapkanlah terima kasih lebih dulu, baru kemudian beritahu kekurangan atau kesalahan secara baik-baik. Dijamin, mereka akan mengerjakannya lebih baik tanpa wajah merengut.
Tidak berterima kasih dan banyak menuntut adalah sebuah siklus, keduanya saling berkait berkelindan. Biasanya kedua sikap ini tidak terpisahkan, setiap kali kita tidak berterima kasih, mesti diiringi dengan tuntutan. Atau sebaliknya, setiap kita mengajukan tuntutan, hasil yang kita dapatkan dari tuntutan itu kita anggap sebagai hak. Karenanya, "terima kasih" tak perlu terucapkan.
Ironisnya, budaya buruk ini pun kita berlakukan terhadap Allah SWT. Kita terus menerus berdoa dilimpahkan rezeki. Hanya karena rezeki yang didapat hari ini tidak berlimpah, lalu dalam doa selanjutnya kita berujar, "Ya Allah, kok cuma segini?" Sungguh, bersyukur dan bersabar lebih menjauhkan kita dari ancaman azab dan siksa dari-Nya.
Bayu Gawtama
http://gawtama.multiply.com
Milis Eramuslim
Dikirim oleh: Jdp
Senin, 21 November 2005